Suara Muda
Headlines News :
BRAM Grup bahruninfo@gmail.com. Powered by Blogger.
Tridinamika Blog Kontes 2013

Pemerintah Masih Abaikan Petani Urutsewu

  •  7 Tahun Tragedi Urutsewu di Setrojenar:
Tragedi Urutsewu yang terjadi di Blok Pendil Desa Setrojenar pada Sabtu, 16 April 2011, telah lewat 7 tahun silam; kembali diperingati oleh ratusan petani di kawasan pesisir Kebumen selatan. Peringatan ini dihelat warga pada Senin (16/4) di lapangan desa setempat, persis di seberang markas Dislitbang TNI-AD.
Rangkaian peringatan diawali sholat hajat dilanjutkan dengan istighotsah berjamaah. Nampak diantara jamaah yang hadir Kepala Kesbangpol Linmas Kebumen Nurtakwa Setyabudi, Camat Suis Idawati yang diiringi Kasie Trantib Kecamatan Buluspesantren. Peringatan 7 tahun “Tragedi Urutsewu” juga banyak diikuti petani dan warga tetangga lain desa yang berdatangan dari Kecamatan Ambal dan Mirit.
Ketua FPPKS (Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan) Seniman Marto Dikromo juga datang dan melantunkan puisi “Kidung Pesisiran” diiring pupuh tembang mocopat dan gambuh di sela musik tradisional yang dimainkan petani warga Desa Wiromartan Mirit; sebuah desa di ujung timur Urutsewu yang juga pernah mengalami kekerasan lainnya yang dilakukan tentara hingga melukai Kades Sunu dan beberapa warganya.
Lantunan “Kidung Pesisiran” seakan menggugah kembali ingatan petani dari suasana keseharian dan menghadapkan pada dua situasi yang menuntut perjuangan antara hidup sebagai pejuang ketahanan pangan dan pejuang hak pemilikan lahan.
Keadilan yang Terluka
Beberapa dari 14 korban kekerasan militer, 6 diantaranya ditembak dan kesemuanya harus rawat inap di RSU kala itu; juga saling bertemu dan tak bisa mengelak dari suasana yang mengharu. Mustofa, 71, petani yang saat tragedi berusia 64 tahun dan diserang 6 tentara hingga pingsan di lokasi; nampak merah kusut dan basah matanya di usia yang menua.
Paryono, ketua panitia yang memprakarsai peringatan ini mengingatkan betapa timpangnya keadilan diterapkan. Faktanya, 6 petani rekannya telah menjalani hukuman atas sangkaan perusakan fasilitas Dislitbang. Tetapi hingga hari ini, tentara yang melakukan kekerasan dan perusakan 12 sepeda motor warga tak tersentuh hukum. Bahkan ke 12 sepeda motor milik warga yang rusak permanen dan disita tanpa keterangan, tak jelas keberadaan dan penanganannya hingga hari ini.
Ketua Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK), Teguh Purnomo yang juga hadir menyebut kejadian ini sebagai merugikan petani.
“Kasus konflik agraria seperti ini tak hanya terjadi di Urutsewu saja”,terangnya sambil menjelaskan kasus serupa sebagaimana terjadi di Temon Kulonprogo atas petani yang menolak pembangunan bandara. Ia melihat di setiap relasi konflik seperti ini, termasuk di Kedungombo; masyarakat kecil seperti petani selalu rentan pada posisi korban atau bahkan dikriminalkan.
“Perlu komitmen bersama semua pihak. Selama ini pemerintah masih abai terhadap penyelesaian konflik pertanahan”, terangnya.
Tak kurang, koordinator Urutsewu Bersatu (USB) Widodo Sunu Nugroho lebih menyoroti perkembangan konflik paska tragedi 16 April 2011, dimana pada kenyataannya TNI-AD malah memaksakan proyek pemagaran pesisir sepanjang 22,5 Km yang mencakup 15 desa di 3 kecamatan yang ada.
“Sebenarnya ketika TNI-AD memaksakan pemagaran itu jelas melanggar hukum”, tegas Sunu yang kini menjabat Kades Wiromartan itu.
Masih dalam perkembangan konflik yang sama, Kades Sunu ini pernah mengiring warganya yang menolak pemagaran lahan pertanian milik petani yang diterjang pembangunan pagar. Tetapi bukannya mendapat penjelasan TNI-AD, Sunu dan beberapa warganya malah dipukul tentara hingga pingsan dan terluka.
“Padahal, jelas petani Urutsewu memiliki bukti pemilikan tanahnya”,pungkasnya. [K.04]

Film “Melawan Arus” dari Kebumen Juara di Malang Film Festival 2018

  • Sinema dari Konflik Agraria 
Film Melawan Arus karya Eka Saputri dari SMKN 1 Kebumen membantu mengingatkan kembali tentang masalah yang masih menjadi keresahan tersebut. Pada Sabtu, 7 April 2018 film Melawan Arus berhasil menjuarai Malang Film Festival 2018 untuk kategori Fiksi Pendek Pelajar.
“Film sebagai medium gambar dan suara bisa menjadi pilihan yang sangat tepat menyuarakan keberpihakan terhadap posisi rakyat yang masih sering terpinggirkan”, urai Puput Juang dalam rilisnya.
Sebagaimana terjadi pada nasib para petani Urut Sewu yang masih menggantung paska pemagaran lahan pertanian mereka.
Lulu Ratna mewakili dewan juri untuk kategori Fiksi Pendek Pelajar dan Mahasiswa menjelaskan dalam laporan kerja penjuriannya
“Film pemenang pada kategori ini dipilih karena bisa mengoptimalkan bahasa visualnya walaupun masih menyisakan pesan secara verbal”.
Melawan Arus bercerita tentang Siti (Eti Puspitasari) yang percaya bahwa proses penangkapan suaminya Yono (Deni Noviyana) merupakan fitnah akibat konsekuensi rumit dari sengketa tanah antara petani dan TNI yang tak kunjung berujung kejelasan. Situasi tak menentu berujung pada keinginan pindah dari Yono yang ditolak oleh Siti. Siti ngotot untuk tetap tinggal dan terus berjuang bercocok tanam di lahan tesebut.
Eka Saputri yang hadir terlambat pada malam penganugerahan menjelaskan proses filmnya.
“Film ini terinspirasi dari karya kakak kelas, mba Dewi Nuraeni yaitu Urut Sewu Bercerita”.  Film terdahulu produksi: Sangkanparan yang kebetulan juga menang pada Malang Film Festival tahun sebelumnya untuk kategori dokumenter pendek.
“Ada kesempatan untuk mewujudkan ide tersebut sebagai film fiksi yang semoga bisa kembali mengingatkan bahwa perjuangan masyarakat Urut Sewu masih berlanjut, terutama dikuatkan peran para perempuan yang turut melawan”, sambung Eka.
Produksi film Melawan Arus berhasil terwujud lewat kerja kolektif dan kolaborasi program Sinema Kedung Meng Desa-Desa pada 11 Agustus hingga 5 November 2017. Sebuah rangkaian yang di pelaksanaan tahun keduanya bisa menghadirkan lokakarya produksi difasilitasi Cinema Lovers Community (CLC Purbalingga). CLC yang sudah tidak diragukan pengalamannya dalam pendampingan produksi film karya pelajar. Keseluruhan rangkaian program dikelola oleh Komunitas Kedung (Kebumen) di bawah naungan Jaringan Kerja Film Banyumas Raya (JKFB) yang didukung penuh bantuan untuk masyarakat film dari Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pusbang Film) serta Perpusda Kebumen, Roemah Martha Tilaar Gombong dan Sangkanparan (Cilacap). [put]

FFP 2018 di Kebumen Berlangsung Meriah

KEBUMEN – Perumahan Griya Jatisari Indah mendadak ramai pada Selasa (10/07/2018) sejak sore hari. Pasalnya ada layar tanjleb yang dihadirkan Jaringan Kerja Film Banyumas Raya (JKFB). Event dalam rangka Festival Film Purbalingga (FFP) 2018 ini merambah wilayah Kebumen pada 2 lokasi pemutaran film dengan model layar tanjleb.
Desa Jatisari merupakan titik ketiga dalam rangkaian layar tanjleb FFP 2018 dan lokasi pemutaran kedua setelah lokasi Pesanggrahan Desa Karangsambung pada malam sebelumnya.
Selain memutarkan film karya pelajar se-Barlingmascakeb, warga Perum Jatisari Indah juga memanfaatkannya untuk sekaligus menggelar silaturahmi lebaran dan serah terima pengadaan tong sampah sumbangan warga untuk desa.
“Momen sederhana warga untuk berkumpul dan bersilaturahmi”, kata Kepala Desa Jatisari dalam sambutannya. “Alhamdulillah bisa terbantu menjadi lebih hangat dan meriah berkat kedatangan kru layar tancap, sehingga anak-anak menjadi betah dan turut terhibur dengan tontonan yang dihadirkan.” Sambung Kades Muslihudin.

Film Karya Pelajar Kebumen 

JATISARI: Warga Perum Jatisari Indah Kebumen nampak antusias menyaksikan film-film yang diputar (10/7) dalam rangka Festival Film Purbalingga 2018
Koordinator pelaksana FFP 2018 untuk wilayah Kebumen, Ridho Saputro menjelaskan kehadiran film-film karya sineas muda dari kalangan pelajar Kebumen, dalam genre dokumenter dan film fiksi pendek . Diantaranya ada “Badar Besi” (Sutradara: Amaroh Alfa Khurohman, Sangkanparan), “Sega Penggel” (Sutradara: Azizatun Zahro, Sangkanparan) untuk film documenter pendek.
Sedangkan untuk genre film fiksi ada “Melawan Arus” (Sutradara: Eka Saputri, Lemah Wedhi Production). “Di Dasar Air” (Sutradara: Intan Karunia, Candradimuka Production). Serta film berjudul “Tanah Tuan Tanah” (Sutradara: Hestika Sari, Netuka Creative Community).
Ketiga film fiksi pendek yang diputar merupakan hasil Lokakarya Produksi Sinema Kedung Meng Desa-Desa 2017 yang digagas Komunitas Kedung bekerjasama dengan CLC (Cinema Lover’s Community) Purbalingga sebagai fasilitator produksi.
Selain sedang diapresiasi di program Layar Tanjleb FFP 2018 saat ini ketiga film tersebut juga sedang dikelilingkan ke seluruh Indonesia melalui program pemutaran film Indonesia Raja 2018 yang digagas komunitas film “Minikino” (Bali) sejak 2016. Khusus untuk film “Melawan Arus” yang bercerita tentang perjuangan petani perempuan bernama Siti di lahan konflik agrarian telah mendapat penghargaan di Malang Film Festival 2018 sebagai Jawara Fiksi kategori pelajar dan INVECT (Independent Movie Competition) Tebas Awards 2018.
Malam sebelumnya layar tancap serupa juga sukses digelar di dusun Pesanggrahan, Desa Karangsambung dengan melibatkan Karang Taruna setempat dan pegiat kelompok sadar wisata (pokdarwis) Bukit Pentulu Indah.

6 Film FFP 2018 digelar di Karangsambung Kebumen

Ratusan penonton memadati tanah lapang pedukuhan Pesanggrahan malam itu, Senin (9/7); tak jauh dari pusat keramaian Karangsambung Kebumen. Sejak lepas isya’ hamparan terpal yang digelar panitia Festival Film Purbalingga (FFP) dipenuhi anak-anak yang tak sabar menunggu film diputar. Model layar tanjleb mengingatkan kenangan publik jaman dulu saat menonton bioskop layar lebar “misbar” di kapangan terbuka.
Putaran kedua dari 17 lokasi yang terpilih untuk tempat pemutaraan bioskop dengan sound-system menggelegar, tak hanya dipadati anak-anak. Kalangan muda hingga para orangtua serta penjual jajanan tak ketinggalan memanfaatkan keramaian ini untuk berjualan.
Pihak panitia festival yang terdiri dari Cinema Lover’s Community (CLC)Purbalingga, Sangkanparan (Cilacap) dan Komunitas Kedung (Kebumen) menggandeng Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bukit Pentulu Indah serta Karang Taruna Desa Karangsambung dalam perhelatan malam itu.
Rupanya layar tanjleb memang jadi pilihan cara menyajikan tontotan film dalam festival tahunan yang kini telah memasuki tahun ke 12 ini.
“Mendekatkan film kepada penonton terutama penduduk di desa yang memiliki hak sama dengan warga perkotaan yang biasa dimudahkan untuk mengakses tontonan di gedung bioskop”, papar Bowo Leksono tentang media pilihan dalam penyajian karya sinema yang diputar. Ia menambahkan bahwa sajian film dalam festival tahunan ini akan dijaga konsistensinya dengan pilihan layar tanjleb sebagai model.

FILM PELAJAR: Anak-anak juga antusias menonton 3 film bikinan pelajar Kebumen di FFP 2018 [Foto: Komunitas Kedung]
Ada 6 Film 
Ada 6 film diputar di lokasi yang tak jauh dari pusat LIPI Karangsambung ini. Diantaranya ada 3 karya pelajar, masing-masing: “ Di Dasar Air” (Sutradara: Intan Karunia, SMK 1 Gombong), “Batu Badar Besi” (Sutradara: Alfa Khumairoh, SMK Karanggayam) dan “Tanah Tuan Tanah” (Sutradara: Hestika Sari, SMK Karanggayam).
Selain film karya para pelajar ini, ada juga film berjudul “Oleh-Oleh (Sutradara: M. Reza Fahriansyah), “Ji Dullah” (Sutradara: Alif Septian) dan “Sekala Niskala” (Sutradara: Kamila Andini). Film terakhir ini telah memperoleh award di berbagai festival bertaraf internasional. Dan baru saja film ini disertakan dalam Asean Film Festival 2018 yang juga menyabet penghargaan tingkat Asia. Pelibatan warga setempat dalam gelaran ini pun akan selalu diupayakan ada di setiap lokasi penyajian.
“Layar tancap ini juga menjadi peluang yang baik untuk mengingatkan kembali potensi geopark LIPI Karangsambung. Para pemuda tentu selalu terbuka terhadap berbagai acara yang ditawarkan dari pihak luar sejauh itu bertujuan positif. Apalagi bagi Karangsambung yang juga mempunyai obyek wisata PI (Pentulu Indah_Red)“, ungkap Sutasor dalam sambutannya di sela pemutaran film.
Selaku Ketua Sub-Karangtaruna “Gatra Karsa” yang membawahi 6 dusun sekaligus penanggung jawab keamanan perhelatan, pihaknya sangat mengapresiasi upaya pengangkatan potensi sinema Indonesia; termasuk film karya para pelajar di daerahnya.
Salah satu pengurus pengurus pokdarwis Bukit Pentulu Indah, Supriyanto menambahkan bahwa meskipun Pentulu Indah sudah populer melalui berbagai liputan stasiun televisi, “Tetapi acara seperti ini tetap diperlukan untuk menggiatkan pemuda dan meramaikan lokasi di lingkup sekitaran area wisata yang ada di desa”.
Antusiasme penonton di dusun Pesanggrahan begitu tinggi hingga akhir pemutaran film utama, Sekala Niskala besutan sutradara Kamila Andini. Masih ada satu titik lokasi lagi yang akan disambangi Layar Tanjleb FFP 2018 yaitu Perum Jatisari kecamatan Kebumen kemudian berlanjut ke Banjarnegara. [put]

Festival Seni Tradisi “Kothek Lesung” Meriah

BONOROWO – Sebanyak 12 kelompok seni tradisi gojek atau kothek lesung berpartisipasi dalam Festival Kothek Lesung yang digelar di halaman kantor Kecamatan Bonorowo Kebumen. Festival Lesung yang digelar dalam rangka peringatan 71 Tahun Kemerdekaan RI untuk tahun 2016 menjadi spesial, karena untuk kali ini festival dilaksanakan untuk tingkat kecamatan.
Ke 12 peserta Festival Lesung merupakan kontestan dari 11 desa yang ada di wilayah Kecamatan Bonorowo, ditambah 1 peserta partisipan yang merupakan gabungan Guru TK di wilayah kecamatan setempat. Tiap kelompok kontestan mewakili satu desa, masing-masing dari desa Patukrejo, Ngasinan, Pujodadi, Rowosari, Mrentul, Bojokkidul, Bonjoklor, Balorejo, Tlogorejo, Sirnoboyo dan Bonorowo sendiri.
Camat Bonorowo Gigih Basokayadi, S.Sos mengapresiasi Festival Lesung ini dan ikut mempersiapkan penyelenggaraan festival hingga tingkat kecamatan.
“Dibutuhkan waktu 3 tahun, dari tahap penggalian potensi, motivasi  sampai memfasilitasi hingga mencapai asumsi layak festival tingkat kecamatan”, paparnya. Camat yang memiliki basis keahlian spesifik bidang kesehatan anestesi ini berpomeo “Bona”, akronim dari “Bonorowo Bermakna” dalam memotivasi masyarakat di wilayah kerjanya.
Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan festival serupa memang rutin digelar setahun sekali, namun sebelumnya hanya dihelat dalam tingkatan desa, dengan peserta perwakilan dukuh. Begitu pula yang pernah digelar di Desa Mrentul dan desa lainnya, pada tahun-tahun sebelumnya.

Penonton itu Apresian Kritis 
Festival yang komposisi tiap kelompoknya didominasi oleh perempuan ini bukan saja nampak meriah dalam perhelatan festivalnya, namun juga memberi manfaat dari aspek pembelajaran dan media ekspresi maupun apresiasi seni yang meningkat di tiap komunitas tradisional yang ada. 
Saat KebumenNews meliput perhelatan festival unik ini, seringkali muncul sorak-sorai spontan yang meskipun meriah namun terkesan aneh karena berkonotasi kritikan. Ketika dikonfirmasi ke massa yang penonton yang memenuhi serambi joglo hingga halaman kantor kecamatan hasil pemekaran wilayah di Kabupaten Kebumen ini; tahulah kenapa sebabnya.
“Iramanya salah, tak kompak”, celetuk penonton menimpali sorak-sorai.
Ini menandakan bahwa antara pelaku seni tradisi Kothek Lesung dan penontonnya berada pada wilayah persepsi yang setara. Meskipun dalam festival ini ada penilaian dari Tim Yuri yang terdiri dari 3 orang, namun penonton juga memiliki bekal pengetahuan dan bahkan skill dasar untuk penilaian kolektif yang menghasilkan penampil faforit… [Kn.04]

Penghargaan Film Dokumenter “URUT SEWU” Terbaik di Indonesia

Seperti biasanya, Festival Film  Pelajar Jogja (FFPJ) yang hadir setiap tahun diikuti oleh pelajar dari penjuru Indonesia dari Aceh sampai Papua, bertemu dalam ajang  Festival  Film yang diselenggarakan di Pondok Pemuda Ambar binangun, Bantul,  Jogjakarta  sejak 17-18 Desember 2016. kegiatan selama 2 hari pemutaran  film-film yang lolos dalam ajang  FFPJ dan Seminar  Nasional, Kelas Persahabatan dan Perdamaian,  Api Ekspresi, Temu Komunitas, Forum Pendidik serta Penganugerahan Film Terbaik  FFPJ  2016.
Kegiatan yang memasuki tahun ke-7 ini mengusung tema besar “Persahabatan dan Perdamaian”. Jika di tahun-tahun sebelumnya, kompetisi hanya diperuntukan untuk SMP dan SMA/sederajat, pada tahun ini dibuka kompetisi video untuk kategori  anak SD.
Minggu, 18 Desember 2016 puncak perayaan  Festival Film  Pelajar Jogja (FFPJ) 2016. Dimanak para peserta menantikan penganugerahan  Film-Film  Terbaik ajang  FFPJ 2016. Diantaranya adalah Penghargaan untuk  Video  Eksperimental,  Penghargaan untuk  Video  Musik,  Penghargaan untuk  Video Persahabatan dan Perdamaian, Penghargaan Film  bertema  “Anti  Korupsi”  Penghargaan  Film bertema Perempuan, Penghargaan Film Anak, Penghargaan Film kategori Dokumenter serta Penghargaan  Film  kategori Fiksi.
Film berjudul  URUT SEWU  karya Dewi Nur Aenisiswi  SMK N1 Kebumen berhasil raih penghargaan sebagai Film  Dokumenter Terbaik 1 dan Penghargaan khusus dari Watch Docsebagai  film pilihanter baik.  Film yang  digarap oleh pelajar SMKN1 Kebumen selama melaksanakan masa prakerin  di Sangkan paran Cilacap ini menceritakan tentang persoalan Petani Urut Sewu  yang sebagianlahan pertaniannya di  gunakan oleh TNI sebagai tempatlatihan.
Hal  ini menyulut perlawanan warga tatkala TNI  melakukan pemagaran di lahan pertanian milik warga. Film berdurasi pendek ini sebelumnya telah mendapat penghargaan di ajang Documentary  Days  FEB  UI  Jakarta  beberapa waktu lalu. Kini Film Dokumenter ini kembali raih penghargaan dalam ajang  Festival  Film  Pelajar Jogja  2016.
Kebahagiaan ini tentunya sangat dirasakan oleh Dewi Nur Aeni sebagai  filmmaker berstatus pelajar. Dirinya berharap pesan  yang  ingin disampaikanya benar-benar bisa tersampaikan. “Saya ingin agar seluruh masyarakat  tau  kondisi  di  Urut Sewu,  salah satunya ya melalui media  film,  bisa menyampaikan pesan-pesan tersebut.  Alhamdulilah  film ini mendapat apresiasi  di  berbagai ajang  festival  di  Indonesia.”  Ungkap gadis cantik berkerudung  yang masih sekolah kelas XII di SMK N1 Kebumen.

Menggali Tugu Walet Sebagai Vocal Point Kebumen

Tugu Lawet atau Tugu Walet atau Kupu Tarung adalah sebuah tugu atau monumen yang berada di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Keberadaan tugu ini berkaitan erat dengan potensi yang dimiliki Kabupaten Kebumen yaitu penghasil sarang Burung lawet. Burung Lawet adalah Burung walet dalam bahasa setempat, burung laut dari keluarga Apodidae yang sarangnya selalu diburu dan harganya sangat mahal. Sarang Burung walet mengandung glikoprotein yang sanggup meregenerasi kolagen, salah satu protein dalam organ tubuh manusia, yang membuat kulit halus dan cerah.
Tugu Lawet berada di simpang empat pusat Kota Kebumen sehingga akan dapat dijumpai dengan mudah. Tugu Lawet dibuat untuk menggambarkan aktivitas serta perjuangan para pengunduh sarang Burung walet di goa-goa pada tebing karang pesisir selatan Kabupaten Kebumen yang penuh tantangan serta risiko. Goa-goa yang dimaksud tersebut merupakan goa-goa yang ada di peisir selatan Kecamatan Ayah dan Kecamatan Buayan. Goa-goa tersebut dikenal dihuni oleh Burung walet. Bentuk Tugu Lawet yang tidak beraturan menggambarkan kontur karang pesisir selatan Kebumen terjal. Terdapat lima patung manusia yang menggambarkan para pengunduh serta dua ekor patung Burung walet raksasa di puncak tugu.Lima patung manusia yang hanya mengenakan celana pendek untuk menggambarkan kesederhanaan para pengduh jaman dahulu.
Dahulu Tugu Lewat Kebumen menjadi simbol kemakmuran masyarakat Kebumen dari bisnis sarang burung, dan karenanya menjadi tugu kebanggaan. Kini Tugu Lawet menjadi tugu nostalgia, dan tugu pengingat bahwa eksploitasi anugerah alam yang tak terkendali cepat atau lambat akan berujung pada penyesalan dan pewarisan kerusakan bagi keturunan [1]
Hebatnya orang kebumen dapat terbaca melalui ekspresi tugu walet yang penuh historis dan artikulatif. Hal ini dapat untuk memantik generasi kebumen menteladani keuletan, kejelian dalam membangun etos kerja. Tugu walet bukan sekedar icon kota atau vocal point (sudut pandang) melainkan diskripsi filosofis mentalitas orang kebum yang penuh heroik/militansi, komitmen dan spiritual (tirakat doa) dlm setiap perjuangan langkah hidup guna meraih apa yang diharapkan. Besarnya risiko dengan taruhan jiwa raga bukan penghalang yg harus ditakuti. Hal ini dapat divisualisasikan pada tugu walet kebumen yang menggambarkan orang sedang mengunduh sarang burung di lokasi yang sangat berbahaya di ujung gua tebing bebatuan di aliri gelombang laut yang garang, wingit (angker) dan lika liku. Kendati dengan berdarah darah teryata tidak membuat gentar. Semua harus dilewati stapak demi setapak melebihi bahayanya berjalang diatas lereng terjal ( downhill). [2]
Hal ini Menjadi keniscayaan bagi generasi penerus masyarakat dan pemerintahan untuk menjaga dan melestarikan serta merawat agar lebih indah tanpa harus mengurangi makna kontenya. Agenda redesign tugu walet yang kesekian kalinya patut diapresiasi apalagi dengan membuka keterlibatan publik secara partisipatif melalui sayembara desain gambar/grafis.
Teguh/Tan sebagai salah satu pemrakarsa tugu walet menyambut gembira rencana memper cantik tugu walet sehing mampu menjadi distinction keunikan kebumen. Pesan beliau sebaikya tugu walet jangan dimaknai dgn cat warna yg menimbulkan tafsir politik pada warna patung gambar orang yang sedang mengunduh sarang. Kembalikan pada warna yang aslinya. Itu maklumat beliau sebagai tokoh pemrakarsa.[3] 
  1. Wikipedia, (14/12/2016.1023.PM)
  2. Iman Satibi Akademisi
  3. Teguh pemrakarsa tugu walet
 

.

Support : Creating Website | bahrun grup | simponi
Copyright © 2011. Suara Muda Kebumen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by cs
Proudly powered by Blogger