Pernah merasa bahwa dunia yang kita tinggali bertambah luas? Mungkin tidak, tapi akses informasi menjadi jauh lebih mudah sehingga lingkungan realitas kita tidak terbatas pada wilayah yang pernah kita singgahi. Bahkan dalam era yang serba digital kita dapat memperoleh informasi hanya dengan menekan satu tombol enter di keyboard dan dengan jaringan internet berita-berita dari belahan bumi yang lain dapat kita peroleh dalam hitungan detik. Reaksi yang timbul tentu saja beragam, ada yang merayakan kemajuan ini dengan sukacita, ada yang ketakutan karena arus informasi yang tidak terkontrol, termasuk kasus pornografi, dan berbagai tanggapan lainnya. Tak bisa dipungkiri kemajuan dunia maya sekarang ini merupakan suatu revolusi dalam arus informasi. Media berita yang dikuasai oleh bangsa barat, kini bisa bertanding dengan lebih adil. Tentu sangat naif jika mengatakan bahwa dunia maya merupakan era kemenangan kaum muslimin, bagaimanapun aset paling besar masih dikuasai oleh bangsa barat, sepert Google, Yahoo, amazon dan jaringan bisnis yang berbasiskan dunia maya, namun setidaknya umat Islam dapat memperoleh berita yang lebih berimbang dengan mengunjungi site-site Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Walter Lipman, “There is no higher law in journalism than to tell the truth and shame the devil.” Namun adakah media yang benar-benar bebas nilai? Seperti yang telah diungkapkan di awal tulisan ini, ada orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, sehingga apa yang ada di depan mata mereka sekalipun tidak dapat memperlihatkan kebenaran. Sebagai individu setiap manusia memiliki kecenderungan tertentu, bergantung pada paradigma yang ia pakai. Standar kebenaran pun mejadi sangat rancu, karena semua orang -ilmuwan sekalipun- tidak bisa sepenuhnya terbebas dari lingkungan tempat tinggalnya. Bukan berarti teori gravitasi salah, atau hukum-hukum Newton tidak berlaku, melainkan ilmu yang dia peroleh untuk menafsirkan alam semesta ini mengenai keberadaan Tuhan, sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya dan tidak terkait dengan sifat-sifat bahwa sains merupakan wadah yang senantiasa bebas nilai. Serupa dengan sains, walaupun kebenaran tertinggi jurnalisme adalah kebenaran (mengandung what, where, when, why, who dan how) namun dalam kacamata yang berbeda berita yang keluar juga akan menjadi lain. Contoh nyata bisa kita lihat dari perbedaan pendekatan antara Al Jazeera dengan stasiun-stasiun barat. Bukan rahasia lagi berita-berita yang beredar di AS merupakan titipan dari Pentagon, yang semuanya mengarah pada pembenaran bencana kemanusiaan, invasi AS ke Irak. Bahkan untuk menghambat masuknya informasi ke masyarakat AS, pemboikotan juga terjadi pada website Al-Jazeera. Masih percayakah kita pada isapan jempol, media merupakan sebuah wadah yang bebas nilai? Kenyataan ini tak bisa dianggap remeh, apalagi informasi menjadi salah satu realitas akrab kita. Ketika zaman dahulu manusia hanya akrab dengan apa yang bisa dipandangnya secara langsung, kini media menjadi salah satu perantara yang mempengaruhi pola pikir kita. Propaganda-propaganda dilakukan agar para pemirsa setuju dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah, dan dalam hal ini media menjadi kaki tangan yang setia. Tapi kita tidak perlu pesimis, era ini juga menawarkan suatu pilar baru yaitu media informasi. Dunia maya secara perlahan namun pasti telah mulai menjajah alam realitas kita, apalagi melalui internet kualitas yang bisa kita peroleh menyamai televisi. Semua informasi luar yang diserap oleh manusia melalui indra memiliki komposisi persepsi sensoris: visual 80%, pendengaran 11% dan indra lain 9%. Hal ini belum ditambah stimulus faktor eksternal seperti gerakan, intensitas, kebaruan (novelty), perulangan dan warna. Dalam menjelajahi dunia maya ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mudah terpengaruh, yang pertama adalah visual-mungkin ditambah audio jika dilengkapi peralatan yang memadai-dan yang kedua adalah keterlibatan kita dalam ‘permainan’ tersebut. Selama ini kita mengenal media informasi dari satu arah, yaitu baca, melihat atau mendengar saja. Tapi dengan internet memungkinkan kita untuk dapat berinteraksi dengan informasi, entah melalui sarana mailing list (wahana yang memungkinkan terjadinya sharing informasi sesama anggota milis), forum tanya jawab, chatting dan berbagai forum lainnya. Ketelibatan kita dalam sebuah wahana menjadi sebuah nilai tambah yang tidak dapat kita temui dalam media-media informasi sebelumnya. Akibatnya sebagai sarana dakwah internet menjadi sebuah wadah yang menjanjikan sekaligus menakutkan. Banyak pihak yang memanfaatkan kebebasan ini untuk membuat site-site Islam namun menjungkirbalikkan semua fakta di dalamnya. Era ini memang sangat menakutkan karena untuk masuk kedalamnya kita sudah harus memiliki bekal yang akan mempengaruhi persepsi penerimaan suatu berita. Sangat mudah untuk mengatakan bahwa kemajuan dunia maya ini merupakan sebuah titik balik, bisa menjadi wahana untuk melesatkan tujuan dakwah, atau sebaliknya menjadi jurang kehancuran. Site-site Islam bermunculan seperti jamur di musim hujan, tapi siapakah pengunjung tetapnya? Apakah orang-orang yang sudah biasa dijalur dakwah ataukah orang-orang yang masih terombang-ambing? Sejauh apakah dakwah cyber ini menemukan posisinya? Dan bagaimana sarana ini dimanfaatkan oleh orang-orang non-mulim untuk menyesatkan umat Islam itu sendiri? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini diperlukan riset yang sungguh-sungguh. Di beberapa site Islam dapat kita temui sejumlah polling yang dapat menggambarkan karakter pengunjung site tersebut. Tapi ada satu hal yang perlu mendapat perhatian penting, yaitu sejauh mana site tersebut dapat menjadi suatu pembinaan yang berkelanjutan. Ketika berbicara mengenai pembinaan yang diperlukan adalah pembaharuan dan kesinambungan. Kesulitan dakwah melalui dunia maya adalah kurangnya intensitas, terutama dalam bentuk site. Oleh karena itu site-site Islam banyak juga menawarkan wadah dalam bentuk forum atau milis. Melalui milis para pengunjung dapat saling bertukar informasi dan menjalin interaksi yang kontinu. Seperti yang dikatakan oleh Rene Descartes, “Cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Ucapan ini tidak mengada-ada terutama dalam dunia maya yang menawarkan konsep egaliter. Dalam dunia maya Anda bisa menjadi siapa saja, tidak perlu identitas asli, yang penting adalah sejauh apa pikiran Anda melekat pada orang lain, sejauh itulah eksistensi Anda diakui. Kita tidak perlu takut dengan kenyataan ini karena dakwah maya hanya sebuah jalan diantara puluhan jalan lain untuk menyeru di jalan-Nya. “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk(memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS 2:272) Bukan berarti kita diam saja melihat kebatilan yang terjadi disekitar kita, atau bukan juga sebaliknya mendiamkan mereka karena merasa tidak mampu, namun lakukanlah semampu kamu, “Sampaikanlah olehmu walau hanya satu ayat” (Al-hadits). Cara dakwah apapun yang ditempuh jika disertai dengan ilmu yang memadai akan menjadi suatu kekuatan, dan dunia maya mewujudkan ‘seleksi alam’ dimana hanya yang terbaiklah yang akan bertahan. Wallahu a’lam bishawab. |
Home »
» DUNIA MAYA MENJADI TREN