Suara Muda
Headlines News :
Home » , » Kutukan yang Harus Diakhiri Demi Menyelamatkan Legasi Demokrasi

Kutukan yang Harus Diakhiri Demi Menyelamatkan Legasi Demokrasi

Written By Bahrun Ali Murtopo on May 8, 2011 | 5/08/2011




PRESIDEN SBY/IST
  

DEMOKRASI sebagai sebuah keyakinan politik dimana pemerintahan diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, adalah barang mewah yang selama berpuluh tahun sebelum era reformasi ini kita nantikan dan mimpikan.
Setelah melalui perjuangan yang terbilang panjang, akhirnya di tahun 1998 kita berhasil mendapatkan barang mewah itu. Tidak gratis. Kita harus membayar sangat mahal dengan nyawa dan airmata saudara-
saudara kita yang menjadi korban.
Namun sayangnya, setelah demokrasi berada di dalam genggaman tangan tak sedikit dari kita yang mencoba untuk menghancurkan cita-cita besar itu, dan menafikkan konsensus nasional yang telah kita sepakati bersama sejak era reformasi bergulir.
Padahal di mata dunia internasional kini Indonesia dipandang sebagai salah satu negara yang memiliki catatan demokrasi yang terbilang baik. Negara kita diakui sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga mampu memperlihatkan sekaligus membuktikan bahwa Islam yang dianut sebagian besar warganegara Indonesiacompatible dan berkesesuaian serta tidak saling memakan dengan prinsip dan prosedur demokrasi Barat.
Hal ini mementahkan semua kecurigaan dan stigma negatif masyarakat Barat terhadap Islam dan umat Muslim setelah Perang Dingin berakhir dan terutama setelah serangan 9/11 yang menghancurkan World Trade Center di New York, Amerika Serikat. Lebih jauh lagi, kisah sukses hubungan harmonis antara Islam dan demokrasi di Indonesia ini pun mementahkan asumsi-asumsi dasar yang dibangun oleh pendukung gagasan clash of civilization seperti Prof. Samuel P. Huntington.
Puncak dari itu semua adalah pengakuan terhadap peran penting Indonesia dalam percaturan dunia internasional. Indonesia kini tercatat sebagai salah satu negara dalam kelompok 20major powers yang biasa disebut G-20, bersama Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, Jepang, Jerman, Italia, Korea Selatan dan seterusnya.
Tetapi sekali lagi, sangat disayangkan karena sebagian dari kita seakan mengidap sindrom sosial yang dengan gampang menghujat pemimpin yang sebelumnya kita puja-puja.
Bangsa Besar dan Para Pahlawan
Bangsa yang besar, demikian yang sering kita dengar, adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan, para pendiri bangsa, para pemimpin yang dengan susah payah mencurahkan pikiran, tenaga dan perhatian mereka demi menjaga keberlangsungan hidup negara ini. Meski kita mengingat dengan baik hal itu, tetapi dalam praktik keseharian masih ada di antara kita yang menafikkan dengan mencela pemimpin yang telah bekerja keras di masa sebelumnya.
Siapa yang meragukan jasa Bung Karno untuk Indonesia? Penulis yakin, tak seorang pun dari kita. Bung Karno bukan sekadar seorang proklamator kemerdekaan, tetapi ia jugalah yang membawa bangsa ini menjadi begitu disegani oleh kawan maupun lawan di masanya. Bung Karno meletakkan pondasi politik dan pondasi ekonomi yang begitu penting yang masih dapat kita rasakan legacy atau peninggalannya hingga hari ini.
Tetapi begitu Bung Karno tergelincir, tidak sedikit dari kita yang langsung menghapuskan nama Bung Karno dari daftar para pahlawan bangsa. Seakan Bung Karno, bagi sebagian dari kita, menjadi seorang pesakitan yang tak termaafkan.
Pak Harto pun demikian. Siapa yang meragukan sumbangsih Pak Harto dalam pembangunan pasca Bung Karno? Siapa yang meragukan peranan kepemimpinan Pak Harto dalam menciptakan Indonesia modern yang tak kalah dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Pak Harto adalah icon di masanya. Ia pernah membawa Indonesia menjadi salah satu macan ekonomi Asia. Di bawah kepemimpinan Pak Harto lah untuk pertama kali kita pernah merasakan apa yang disebut sebagai swasembada pangan. Pak Harto dengan begitu cermat melanjutkan pekerjaan keras Bung Karno membangun gerakan non blok yang begitu dihormati di percaturan politik internasional.
Tetapi seperti Bung Karno pula, Pak Harto pun mengalami nasib yang kurang lebih sama. Ia lengser diiringi hujatan dan cacian rakyat.
Untuk masa yang relatif singkat BJ Habibie mendarmabaktikan dirinya demi kepentingan bangsa ini. Habibie tampil di saat Indonesia menghadapi ujian yang begitu berat. Kecaman dari dunia internasional datang silih berganti. Carut marut perekonomian nasional membuat kapal besar bernama Indonesia ini oleng ke kanan dan kiri hampir-hampir karam. Tetapi, Habibie dapat mempertahankan arah dan laju kapal. Ia berperan besar dalam proses demokratisasi Indonesia. Bahkan kebebasan pers yang kini kita nikmati diawali di masa Habibie.
Namun, seperti Bung Karno dan Pak Harto, Habibie pun turun dari kekuasaan diiringi cemoohan sebagian dari kita yang menganggap ia gagal total dalam memimpin negara ini di masa-masa yang paling sulit sejak kemerdekaan kita.
Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid, kiai populis dan tokoh yang tak segan untuk berbeda pendapat dengan siapa saja untuk membela pandangan hidupnya. Dia lah sang pembela HAM dan pluralisme yang tak perlu diragukan lagi. Dicintai tidak hanya oleh orang Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia.
Gus Dur mengalami nasib yang kurang lebih sama. Pemerintahannya hanya berjalan kurang dari dua tahun. Ia meninggalkan Istana diiringi serenade cacian yang menyakitkan. Arti penting perjuangan Gus Dur baru kita rasakan setelah ia tak lagi berkuasa, terlebih setelah ia menghadap Sang Pencipta di akhir 2009 lalu. Innalillahi wainnailaihirajiun.
Masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dapat kita katakan sebagai masa transisi dari satu etape demokrasi ke etape demokrasi berikutnya yang lebih advance. Menurut penulis, itulah jasa terbesar Mega. Ia berhasil mengantarkan Indonesia melewati masa transisi itu dengan baik. Ia menginisiasi proses pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung yang tentu saja memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memiliki kontrol yang lebih besar atas kekuasaan.
Tetapi apa boleh buat. Berbagai jasa Mega, yang akhirnya kalah dalam pemilihan presiden langsung pertama kali yang diinisiasi dan didukungnya itu, malah diabaikan oleh sebagian dari kita. Seperti para pendahulunya, Mega juga memanen caci dan hina.
Mengakhiri KutukanTerkadang penulis bertanya: inikah kutukan bagi kita? Kalau ini memang kutukan, kapankah ia akan berakhir? Atau dapatkah kita segera mengakhirinya?
Pada 2004 Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Di tahun 2009 ia mencatatkan kemenangan kedua yang lebih spektakuler, dengan meraih lebih dari 60 persen suara pemilih.
Sekitar tujuh tahun di bawah pemerintahan SBY bangsa ini masih mengadapi berbagai persoalan. Pengangguran masih tetap ada, orang miskin masih tetap ada, dan kesenjangan ekonomi pun masih tetap ada. Tetapi di sisi lain, kita juga harus mencatat bahwa ada juga keberhasilan yang membuat kita yakin bahwa pada suatu masa nanti Indonesia akan mencapai masa kegemilangan seperti di masa lalu.
Pengakuan dari dunia internasional yang datang silih berganti adalah tanda-tanda nyata menuju ke arah kegemilangan itu. Dan itu, tidak kecil nilainya. Sebaliknya, itu adalah tanda-tanda besar yang kalau kita seriusi akan menjadi kenyataan.
Menurut hemat penulis, momentum ini harus digunakan rakyat Indonesia untuk melakukan dua hal. Pertama: mengakhiri “kutukan” yang membuat kita selalu menghinakan pemimpin bangsa. Dan kedua: memperkuat pondasi demokrasi sehinga ia akhirnya menjadi legasi yang dapat kita wariskan kepada generasi setelah kita. Jangan sampai yang kita wariskan kepada anak cucu kita nanti adalah serangkaian kutukan yang sama.
Demokrasi pada ghalibnya memiliki empat kaki, legislatif, eksekutif, yudikatif dan pers yang merupakan alat kontrol langsung publik terhadap tiga lembaga sebelumnya. Inilah lembaga-lembaga yang mengejawantahkan supremasi rakyat. Keempat lembaga inilah yang harus kita rawat agar mereka tidak saling selingkuh, menutupi kekurangan mereka satu sama lain. Mereka harus kita dorong untuk bekerja dengan mengedepankan kepentingan rakyat.
SBY jelas bukanlah superhero. Sebagai kepala negara yang memiliki latar belakang militer, ia adalah sosok reformis yang mengakui supremasi sipil dan kerap bersikap santun terhadap kawan maupun lawan. Komitmennya terhadap upaya memberantas penyakit paling akut yang diidap bangsa ini, yakni KKN, telah dibuktikannya dalam banyak kesempatan. Namun sebagai manusia biasa tentu saja SBY memiliki berbagai keterbatasan, bahkan mungkin banyak keterbatasan.
Justru karena berbagai keterbatasan itu kita, rakyat Indonesia, berkewajiban untuk mengambil peran demi menyempurnakan pekerjaan besar bangsa ini. Sampaikan kritik, sampaikan kecaman, tanpa pretensi untuk menghancurkan legasi demokrasi, apalagi pretensi untuk meluluhlantakkan rumah besar Indonesia.
Kelihatannya inilah yang tidak dilakukan rakyat Indonesia ketika negara dan bangsa ini dipimpin Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, Habibie, dan Mega. Selama ini kita seakan memiliki pandangan bahwa pemimpin adalah entitas yang terpisah dan berada pada quantum yang berbeda dari rakyat yang dipimpinnya. Padahal idealnya, rakyat memiliki tanggung jawab yang sama besar dengan tanggung jawab yang ada di pundak pemimpin mereka. [***]
Muchlis Hasyim adalah jurnalis senior, pengamat media, dan pendiri Inilah.Com.
Share this post :
 
Support : Creating Website | bahrun grup | simponi
Copyright © 2011. Suara Muda Kebumen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by cs
Proudly powered by Blogger