Entah dari mana Tuhan mempunyai ide menciptakan manusia, hanya tuhan yang tahu. Ia menciptakan makhluk biologis ini dengan perangkat hardware berupa anggota tubuh dan software berupa otak yang kemampuannya terus berkembang sejalan usia. Kita wajib mencurigai dengan positif bahwa perangkat-perangkat tersebut diberikan dengan motivasi tertentu. Tubuh adalah alat yang mungkinkan manusia untuk bisa bertahan hidup di dunia, taruhlah bumi (Ardh / Earth). Contohnya bagaimana sistem pernafasan dirancang untuk cocok menghirup oksigen, bagaimana sistem penglihatan cocok dengan berkas cahaya, bagaimana pula telinga, tangan, kaki berperan penting dalam aktifitas keseharian.
Ketika manusia dilahirkan, hampir mustahil ia dapat survive dengan kemampuanya sendiri. Ia harus mengatur sistem propertis yang ada pada tubuhnya. Ibu menjadi ruang pertama pendidikan anak berlangsung. Memberi nutrisi di usia emas, mensuplai asi selama dua tahun dengan tatapan kasih sayang menjadi bagian tugas Ibu. Seiring waktu lambat-laun kompleksitas lingkungan di sekeliling manusia memaksa untuk di kenali tujuannya agar manusia bisa hidup dengan aman dan nyaman. Pada gilirannya akan muncul dalam benaknya sendiri pertanyaan mendasar tentang keberadaannya, siapa aku ini?
Pengenalan terhadap diri sendiri memerlukan banatuan orang lain baik secara langsung atau tak langsung. Dalam proses ini karunia berupa akal sangat mendukung usaha manusia, bukan hanya akal secara instingtif seperti hewan namun akal yang disertai pertimbangan-pertimbangan intuitif. Akal yang mampu mensyukuri keberadaannya sebagai alat untuk mengetahui eksistensi keberadaannya dalam realitas alam fisik dan non fisik.
Pendidikan adalah wahana bagi manusia untuk mengasah kemampuan tidak saja fisiknya tapi juga akal budi. Terlebih tidak ada manusia yang sempurna hidupnya dengan hidup sebatang kara. Meski kesempurnaan hidup manusia adalah nisbi karena berkembang sesuai kodrat usia, namun penting kiranya di setiap momentum pekembangan manusia ada capaian yang menginspirasinya untuk berkembang lebih baik sesuai keinginan pribadi dan bukan paksaan. Dan ini bisa menjadi kenyataan dengan membuat sistem pendidikan yang memahami keberagaman kemampuan manusia.
Setiap anak dilahirkan dengan potensi kecerdasan masing-masing dan tidak seragam. Dalam proses penggalian potensi diri perlu ada kondisi yang mendukung tumbuh kembang pemikiran yang berasal dari orang ataupun sistem disekitarnya. Ketika sebuah instusi menisbatkan diri sebagai tempat pendidikan (sekolah) mestinya capaian-capaian idealitasnya difasilitasi bukan dengan sistem yang memaksa untuk belajar dengan pola baku dan ketat.
Pendidikan yang baik mampu mengantarkan siswanya menjadi dirinya sendiri dan berkembang bebas dengan mandiri. Pendidikan yang kurang baik akan menghasilan manusia-manusia yang sulit mengekspresikan apa kehendaknya serta terasing dari bakat bawaannya. Sungguh mengerikan jika pendidikan malah mengungkung siswa dalam lingkaran pengasingan diri sungguh pembodohan yang mengerikan. Terlebih jika peserta didik di jebak ke dalam sistem penindasan yang menyaru sebagai sistem pendidikan, sistem pendidikan serigala berbulu domba, sistem pendidikan pencetak tenaga-tenaga murah yang tidak punya kebebasan berkreasi dan terikat kontrak kerja yang tidak adil. Tentunya ini bertolak belakang dengan apa yang kita inginkan.
Sekolah sebagai institusi pendidikan diharapkan mampu mempersiapkan siswa-siswanya untuk siap hidup di tengah-tengah masyakat, bukan malah mengasingkan siswa dari masyakrakat. Jika sekolah tidak mampu mengantarkan peserta dlidik menjadi manusia-manusia yang peka terhadap lingkungan sosialnya maka sama artinya proses pendidikan gagal total. Terlebih jika biaya mahal harus dikeluarkan sebagai taruhan untuk mendapatkan pendidikan yang baik.
Usia anak-anak tidak dapat beruang dua kali, sayang sekali jika harus hilang dan sia-sia karena uji coba model pendidkan yang justru mengugkung kreatifitas, membatasi kesempatan belajar, meminggirkan yang miskin karena ketidak mampuan ekonomi orang tua dan lain-lain