Dalam pendidikan, proses pembelajaran perlu adanya kreatifitas dengan tidak hanya berorienasi pada aspek kognitifnya saja dengan kata lain lebih mengacu pada perolehan nilai tetapi juga harus bisa mengembangkan nilai-nilai lain seperti emosional, kepribadian, spiritual dan sosial.. Dalam pembelajaran yang baik perlu adanya keseriusan di beberapa aspek seperti aspek imaginatif, menarik, dan menyenangkan, tanpa meninggalkan aspek pembelajaran secara utuh yaitu kognitif-afektif serta psiko-motorik.
Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan yang sederhana namun mampu memberikan suasana yang tepat bagi alam pikir dan psikologis siswa, sehingga siswa sungguh-sungguh terlibat dalam proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran bersifat menggairahkan, menyenangkan dan menarik, maka siswa akan termotivasi dan terlibat secara penuh. Agar proses pembelajaran berjalan seperti itu, maka kita perlu dukungan berbagai metode, sarana / media serta ketrampilan dalam mengolah dan memprosesnya. Seorang guru mempunyai makna yang amat mendalam dan mempunyai peran yang vital dalam proses pembelajaran. Hal yang perlu dipertanyakan pada diri seorang guru adalah jika guru yang hanya berharap peserta didik paham dan mengerti materi yang disampaikan serta berorientasi pada ketercapaian kepandaian dari sisi kognitif saja, apakah secara signifikan akan merubah nasib generasi anak Bangsa?. Tentu saja seorang guru akan sulit menjawab pertanyaan umum ini jia orientasi pembelajarannya hanya target kurikuler semata.
Jika melihat sistem pendidikan sekolah kita pada umumnya, guru-guru terbelenggu oleh ketentuan administrative yang harus dipatuhi seperti target pencapaian kurikulum, ketuntasan belajar, silabus, RPP dan sebagainya. Dalam kegiatan pembelajaran di kelas sangat jarang guru dalam interaksinya dengan murid-muridnya mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki mereka. Padahal tujuan pendidikan yaitu pengembangan secara menyeluruh dari seluruh potensi anak didik melalui kreatifitas dan berpikir kreatif. Bahkan harapannya anak didik tidak sekedar paham materi pelajaran tapi lebih dari itu peserta didik tergugah kemauannya untuk mengasah diri karena senang dengan kehadiran seorang guru yang menginspirasinya.
Kemunculan sekolah-sekolah alternatif dewasa ini seperti jamur di musim hujan bisa dibaca sebagai kritik atas penyelenggaraan pendidikan formal. Sekolah-sekolah tersebut mampu menterjemahkan dengan baik ruh kurikulum CBSA, KBK, sampai KTSP dengan biaya terjangkau khususnya bagi kalangan menengah ke bawah. Budaya ilmiah muncul dan menjadi keseharian yang menyenangkan bagi peserta didiknya. Sebut saja salah satunya Sekolah Alteratif Qoryah Toyyibah di Kalibening Salatiga Jawa Tengah atau sekolah kenangan Tomoe Gakuen di Jepang.
Dalam berjalannya proses pendidikan baik guru maupun siswa idealnya saling mengisi satu sama lain. Bukan saatnya lagi siswa hanya menjadi objek pembelajaran yang harus menelan mentah-mentah materi pelajaran yang diberikan guru. Pendidikan semacam itu menurut Pau lo Freire tokoh pendidikan pembebasan disebut pendidikan gaya bank. Ibaratnya guru sedang menabung dan murid adalah celengannya. Pendidikan semacam itu sulit mengembangkan kreatifitas peserta didik. Perlu adanya stimulus-stimulus dari guru agar membangkitkan semangat belajar siswa dari dalam dirinya sendiri. Jalan yang bisa ditempuh adalah dengan menciptakan budaya ilmiah.
Budaya-budaya ini jika sudah menjadi habitus di kalangan siswa akan memudahkan guru dalam proses pembelajaran. Siswa tidak hanya akan belajar di dalam empat tembok di dalam ruang kelas. Mereka akan belajar di manapun dan kapanpun selama mereka mempunyai kesempatan untuk membaca, menulis dan berdiskusi