Suara Muda
Headlines News :
Home » , » 66 Tahun Peringatan Proklamasi Kemerdekaan; APBN Tak Kunjung Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat

66 Tahun Peringatan Proklamasi Kemerdekaan; APBN Tak Kunjung Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat

Written By Bahrun Ali Murtopo on August 21, 2011 | 8/21/2011



Rp. 215,7 trilyun untuk 4,7 Juta Pegawai Vs Rp 50 Trilyun untuk 31 juta orang miskin

Merdeka
Dalam Pidato Penyampaian Nota Keuangan RAPBN 2012 tanggal 16 Agustus 2011,  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa RAPBN 2012 disusun sesuai amanat konstitusi, disusun sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


Pada kenyatannya postur RAPBN 2012 tidak jauh berbeda dengan APBN-P 2011 yang mengandung inkonstitusional karena belum berorientasi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini dapat ditunjukan dari besarnya belanja pegawai yang mencapai Rp. 215,7 trilyun atau meningkat Rp. 32,8 trilyun untuk 4,7 pegawai, sementara anggaran kemiskinan yang notabene untuk 31 juta penduduk miskin, justru tetap dikisaran Rp. 50 trilyun.

Postur ini menggambarkan, orientasi APBN yang lebih mengutamakan kesejahteraan aparat birokrasinya dibandingkan kesejahteraan rakyat miskinnya.  Reformasi birokrasi yang seharusnya mampu membuat belanja birokrasi semakin efisien justru terus membengkak setiap tahunnya. Begitu pula dengan anggaran kesehatan, meskipun menjadi prioritas, dalam RAPBN 2012, hanya dialokasikan Rp. 14,4 triliun atau 1% dari belanja Negara atau masih jauh dari amanat undang-undang sebesar 5%.  Selain itu belanja modal, dibandingkan belanja pegawai, hanya meningkat Rp. 27,1 trilyun atau menjadi Rp. 168,1 trilyun. Sebesar 61% RAPBN 2012 tidak ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari sisi pendapatan, setiap tahun, penerimaan negara dari pajak selalu naik tinggi. Pada APBN 2009, penerimaan pajak sebesar 725,8 triliun (74 persen dari total penerimaan negara), naik menjadi 742,7 triliun (78 persen dari total penerimaan negara) pada APBN 2010, naik lagi secara nominal menjadi sebesar 850,2 triliun (menyumbang 77 persen dari seluruh pendapatan negara) pada APBN 2011, dan pada RAPBN 2012 direncanakan naik lagi 140,6 triliun menjadi 1.019,3 triliun (menyumbang 79 persen dari seluruh pendapatan negara). Hal ini mengesankan seolah Dirjen Pajak merupakan bagian dari Departemen Keuangan yang selalu sukses menyediakan dana berapapun yang diminta oleh APBN setiap tahun. Tetapi, tidak pernah ada penjelasan (tidak transparan) berapa sebenarnya penerimaan pajak oleh negara setiap tahun, sektor mana saja penyumbang pajak dan besaran masing-masing, dan bagaimana audit penerimaan negara dilakukan, mengapa undang-undang dengan sengaja melarang audit penerimaan pajak oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini merupakan hal yang aneh dan sulit diterima di tengah kebebasan memperoleh informasi yang dijamin oleh undang-undang lainnya. Tidak pernah pula dijelaskan bagaimana penerimaan pajak dialokasikan dalam nomenklatur belanja negara, bagaimana memastikan bahwa hasil pajak tersebut dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan sumber daya manusia?

Sementara dari sisi pembiayaan, orientasi peyusunan anggaran belum bergeser dari kemandirian terhadap utang.  Postur APBN masih dibebani oleh pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Di sisi lain, penyusunan RAPBN 2012 tidak lain hanya upaya untuk meneruskan pembuatan utang-utang baru dari penerbitan Surat Berharga dan Utang luar negeri. Penarikan utang pada tahun 2012 semakin meningkat, seiring dengan kebutuhan untuk membiayai defisit APBN sebesar Rp125,6 triliun dan kewajiban jatuh tempo pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dan dalam negeri serta biaya untuk penerbitan surat berharga negara. Kondisi ini jelas akan meningkatkan nominal utang pemerintah yang saat ini berjumlah Rp1.733,64 triliun pada posisi Juli 2011. Dengan demikian, postur RAPBN 2012 sesungguhnya masih disandera oleh kebijakan penambahan dan pembayaran utang yang besar.

Hal yang sama juga terjadi pada APBN-P 2011 yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010, hanya mengalokasikan anggaran untuk kesehatan berkisar 1,5 %. Selain lebih kecil dari alokasi anggaran yang ditentukan dalam Undang-Undang Kesehatan yang mewajibkan penganggaran dalam APBN minimal sebesar 5%, APBN 2011 juga tidak mampu mengakomodir kebutuhan akan layanan kesehatan masyarakat yang mensyaratkan adanya keterjangkauan akses dan mutu layanan kesehatan. Fakta yang mengemuka sebagai bukti dari tidak terpenuhinya kemakmuran rakyat dalam bidang kesehatan dapat dilihat dari berbagai kasus seperti ditolaknya masyarakat (pasien) miskin pada saat berusaha untuk memperoleh layanan kesehatan serta tingginya harga obat-obatan yang sulit diperoleh.

Selain itu, anggaran belanja dalam APBN terbukti lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan belanja pegawai negeri sipil (PNS), yaitu sebesar Rp. 180,8 trilyun untuk 4,7 juta jiwa PNS, dibanding 31,02 juta jiwa penduduk miskin yang hanya mendapatkan Rp. 50,3 trilyun. Ini menunjukkan bahwa APBN 2011 tidak berpihak pada mayoritas rakyat miskin.
APBN 2011 juga tidak mengenal istilah jaminan sosial dan tidak ada pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan pembaruan agraria. Alhasil, rakyat miskin semakin jauh dari standar kehidupan yang layak, dan di sisi lain, negara tidak menyediakan cukup modal untuk memberantas kemiskinan tersebut.

Lebih parah lagi, APBN 2011 banyak dialokasikan untuk belanja yang tidak jelas kontribusinya bagi kemakmuran rakyat, seperti Studi Banding, Anggaran Pembangunan Gedung DPR RI (dalam Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun 2010 tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah  Pusat Tahun Anggaran 2011, biaya pembangunan gedung baru DPR RI mencapai Rp. 2,5 trilyun ), Anggaran pembelian pesawat Presiden (APBN 2011 dibebani membayar cicilan utang pengadaangreen aircraft pesawat kepresidenan sejumlah Rp. 92 milyar).

Sementara, di konteks penerimaan, APBN kita terhitung kecil karena banyaknya Kontrak Karya dengan perusahaan-perusahaan tambang, baik nasional maupun transnasional, yang tidak mengedepankan kepentingan nasional.

Berdasarkan atas kenyataan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa APBN 2011 bertentangan konstitusi yang memandatkan pengelolaan anggaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Oleh karenanya, kami dari Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat menuntut agar APBN 2011 direvisi dengan mengedepankan semangat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini dilakukan, agar RAPBN 2012 yang akan dibahas oleh Legislatif dan Pemerintah, memperhatikan mandat konstitusi yang seharusnya ditaati.

Jakarta, 17 Agustus 2011
Atas Nama
Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat       

1.       Gunawan, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
2.       Yuna Farhan, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran  (FITRA)
3.        Ah. Maftuchan, Prakarsa Masyarakat untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan  
          Alternatif (PRAKARSA)
4.       Abdul Waidl, Koalisi Anggaran Independen (KAI)
5.       Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) 
6.       Firdaus, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK)
7.      Ridaya La Ode Ngkowe, Publish What You Pay
8.      Dani Setiawan, Koalisi Anti Utang
Share this post :
 
Support : Creating Website | bahrun grup | simponi
Copyright © 2011. Suara Muda Kebumen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by cs
Proudly powered by Blogger