Suara Muda
Headlines News :
Home » , , » Arah Politik Kaum Muda

Arah Politik Kaum Muda

Written By Bahrun Ali Murtopo on November 24, 2011 | 11/24/2011

@SUARAMUDA-Di tengah terseoknya negeri ini menata masa depan kebangsaan, kehadiran kaum muda Indonesia diharapkan dapat memberikan perspektif baru dalam trend politik Indonesia kontemporer. Usaha untuk membumikan visi politik kaum muda dalam langgam baru politik Indonesia sudah terbentang dalam sejarah panjang intermediasi politik kaum muda. Mulai dari Sumpah Pemuda 1928, gerakan-gerakan mahasiswa pro-demokrasi yang menuntut perubahan sejak 1961, 1978 dan 1998. Semua itu menandai jejak historis adanya inter-relasi politik kaum muda dengan dinamika politik Indonesia.

 

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membumikan visi politik kaum muda, di antaranya, pertama, menciptakan manifesto politik kaum muda yang memuat orientasi, visi, dan misi politik kaum muda. Manifesto politik ini berguna untuk memberi arah baru dalam dinamika politik kontemporer Indonesia.
Kedua, melakukan rekonsiliasi nasional kaum muda, membentuk kaukus pemuda independen Indonesia yang terdiri dari presidium nasional kaum muda. Kaum muda diharapkan dapat mewacanakan pemimpin alternatif kaum muda untuk membendung arus utama menguatnya patronase kuasa politik kaum tua sebagai kritik atas budaya paternalisme politik.
Hemat penulis, karakter pemimpin muda hendaknya mewakili seorang aktivis yang memahami dan pernah terlibat dalam dunia pergerakan mahasiswa, intelektual muda, dan berlatar pengusaha. Juga perlu dilakukan survei opini publik untuk melihat siapakah yang dianggap oleh publik menjadi pemimpin muda Indonesia. Dari sinilah gerakan politik kaum muda mulai menokohkan diri.
Kini sudah saatnya kaum muda mengambil alih medan politik pasca-kegagalan kaum tua untuk melakukan konsolidasi demokrasi pasca berakhirnya transisi demokrasi dari otoritarianisme menuju demokrasi.
Beberapa periode peralihan kekuasaan pasca-tumbangnya rezim Orde Baru belum memberikan perubahan kebangsaan dan kenegaraan yang signifikan.
Perubahan itu hanya menyangkut ruang-ruang struktural politik melalui peralihan dan pergantian dari satu rezim ke rezim selanjutnya. Secara kultur politik belum menampakan perubahan yang progresif.
Hingga kini, kultur politik kita masih bersalin rupa dari bentuk feodalisme politik Orde Baru menuju neo-feodalisme. Sementara paradigma kebangsaan para politisi kita masih mewakili model berpikir "Soehartonian" yang melembagakan praktik "asal bapak senang". Mungkin karena kita terlalu lama berada dalam ruang feodalisme, ini menyebabkan kita terus menghamba kepada uang.
Reformasi yang kita harapkan dapat memberi secercah harapan perubahan pada wilayah kultur politik dan menyentuh substansi demokrasi ternyata masih berada dalam wilayah prosedural demokrasi.
Kaum tua telah gagal. Kini pertaruhan masa depan demokrasi di Indonesia berada pada kiprah kaum muda Indonesia. Belum tampilnya figur alternatif menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, semakin menambah keresahan kita akan arah masa depan politik Indonesia. Ini secara tidak langsung akan melapangkan jalan bagi politisi tua untuk kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2009.
Entah sampai kapan kegalauan politik ini terus mendera kita. Kapankah kepala kita mampu tegak dengan rasa optimisme dalam menatap masa depan politik negri ini. Hemat penulis dengan terbukanya ruang partisipasi politik melalui calon independen diharapkan dapat memberi stimulasi bagi kaum muda untuk mengartilasikan aspirasi politik. Menguatnya aspirasi publik yang menginginkan tampilnya tokoh-tokoh alternatif adalah sebuah berita gembira yang bisa kita apresiasi. Setidaknya, mulai melunturnya kepercayaan publik terhadap kinerja politik para politisi tua menjadi awal baik bagi kaum muda.
Di banyak negara, posisi kaum muda sebagai kelas menengah selalu memberi arti bagi perubahan sosial dan politik. Gerakan Bolsevik di Rusia, misalnya, didorong oleh kelas menengah perkotaan. Demikian juga kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki.
Jejak historis sejarah politik Indonesia juga dipenuhi oleh keterlibatan kaum muda sebagai kelas menengah. Beberapa pemimpin partai pada masa pra-kemerdekaan relatif berusia muda, seperti Soekarno, ketika memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI), Bung Hatta dan Syahrir ketika memimpin Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Tan Malaka ketika mendirikan Partai Murba, dan lain sebagainya. Namun, belakangan pemimpin partai relatif berusia tua.
Partai-partai gagal melakukan regenerasi kepemimpinan, dan terjebak pada budaya paternalisme.
Momentum liberalisasi politik melalui calon independen dapat menjadi pintu alternatif bagi kaum muda untuk berpartisipasi dalam ranah politik. Meski belum ada inter-koneksi massif kaum muda dalam ranah politik, namun setidaknya sudah mulai ada kesadaran berpolitik kaum muda.
Melalui partai politik kaum muda diharapkan dapat melakukan dobrakan politik melalui ide-ide yang progresif, reformis, moderat serta anti-status quo. Dengan demikian harapan baru terhadap arah politik Indonesia dapat terealisasikan dengan cepat, dan perubahan kultur politik menjadi niscaya. Melalui ruang inilah, daya tawar politik kaum muda dapat merangkak naik.
Namun, masih menguatnya budaya paternalistik kepartaian di Indonesia menyebabkan susahnya kaum muda untuk melakukan perubahan di internal partai. Di internal partai, kaum muda harus berhadapan dengan dominasi politik kaum tua yang menolak perubahan dan pro-status quo. Makanya diharapkan kaum muda dapat menyuarakan de-personalisasi partai dalam suksesi kekuasaan partai.

Semoga dengan kehadiran kaum muda, harapan publik yang mendamba perubahan melalui kreasi politik kaum muda dan lahirnya figur alternatif menjadi niscaya.***
Penulis adalah peneliti pada laboratorium politik UIN Jakarta
Share this post :
 
Support : Creating Website | bahrun grup | simponi
Copyright © 2011. Suara Muda Kebumen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by cs
Proudly powered by Blogger