
"Pertanyaan-pertanyaan segila apapun harus mendapatkan peluang untuk
diutarakan dengan bebas. Dalam situasi seperti itu tokh tidak ada bahaya
apapun bagi Islam, karena proses dialog serba dialektik akan
memunculkan koreksi budayanya sendiri."
Sebuah agenda baru
dapat dikembangkan untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam
dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa datang. Pengembangan agenda
baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok
dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi
mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang akan muncul di
masa pasca-indrustri nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi
pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim
bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia
nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi obyek
perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat dan berderajat
penuh seperti yang lainnya.
Maka mau tidak mau haruslah
dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa
kegunaannya bagi ummat manusia secara keseluruhan. Toleransi,
keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan
keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim
sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu
kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas
kaum Muslim dewasa ini. Dari proses itu akan muncul kebutuhan akan
kosmopolitanisme baru yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan
ideologi lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan
struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim.
Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan
kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan
mampu memberikan perangkat sumberdaya manusia yang diperlukan oleh si
miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar,
melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat
solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib
orang kecil.
Bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai
atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara
kecenderungan normatif
kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua
warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme
seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya
warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari
keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan
pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin
dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran
Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata,
bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.
Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat di antara
sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit
dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian sempit antara
kebebasan berfikir di satu pihak dan imperatif norma-norma ajaran agama
memerlukan upaya luar biasa dari para pemikir, budayawan dan negarawan
untuk menjaga jarak antara keduanya, agar tidak saling menghimpit.
Ketegangan intelektual (intellectual tension) yang mewarnai situasi
seperti itu akan memotori kosmopolitanisme yang menjadi keharusan bagi
universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara
keseluruhan.
Oleh Ubedilah