Dalam rangka syukuran pasca
pelantikan Bupati Kebumen dan wakilnya, dihelat pementasan wayang kulit
dengan dalang lokal Eko Suwaryo (20/2) di alun-alun Kebumen. Dalam
pementasan itu dalang dari Jatiroto Buayan yang tengah “naik daun” ini
membawakan lakon “Wahyu Cakraningrat”. Adakah korelasi
cerita pewayangan ini dalam konteks Kebumen kekinian dengan Bupati yang
baru? Jika ada, seberapa dalam makna tuntunan dimensi-dimensi wayang
terhadap percaturan seputar kepemimpinan daerah dengan slogan “beriman”
ini?
Meski secara umum Ki Dalang Eko Suwaryo yang masih terbilang muda ini
teguh mengimani pakem klasik jagad pewayangan, dia tak keberatan untuk
mengadopsi trend pementasan pembaharuan poles ala Manteb
Sudarsono maupun Entus Susmono; dua dalang kondang di mata publik yang
sebelumnya pernah beberapa kali mementaskan kepiawaiannya di Kebumen.
Tentu, Eko Suwaryo berbeda dengan ke dua dalang itu.Pementasan dengan audiens berjubel yang menyusut pada pasca tradisi limbukan dan menyusut lagi setelah lewat fase goro-goro merupakan gejala sosiologis massa apresian pada umumnya, dimana-mana. Secara kuantitas mungkin ini merupakan sinyalemen awal surutnya salah satu dari dua aspek terpenting wayang; tuntunan dalam tontonan.
Namun secara kualitas, pementasan lakon “Wahyu Cakraningrat” emang sarat wewarah dalam konteks kepemimpinan daerah, memiliki taut korelasi yang kuat hari-hari ini.
Dan sanggit sang Dalang Eko Suwaryo dengan konvensi tradisi jejeran dan pathet telah mentransformasikan pertunjukkannya, di tengah audiens dengan spiritualitas Jawa kekinian yang nampak surut militansinya.
Cakraningrat Wahyu Yang Tak Diburu
Dalam “realitas” genesis kewahyuan, Cakraningrat itu seorang dewa yang turun dari alam kahyangan dengan nama Batara Cakraningrat. Berbeda dengan wahyu dalam jagad pewayangan yang kebanyakan diturunkan oleh Batara Wisnu, maka Cakraningrat itu diturunkan oleh Batara Kamajaya dan Kamaratih; istrinya.
Wahyu Cakraningrat disebut pula wahyu keraton, sebab dalam mithologi Jawa Wahyu Cakraningrat merupakan abstraksi yang menghimpun karunia-karunia Hyang Wenang [Allah_pen] dari muatan aspek rajawi.
Sanggit sang dalang mengisahkan perjalanan Sang Cakraningrat sebagai seorang dewa yang atas wenang Hywang Pada harus menitis pada ketiga pemburunya yang tengah bertapa di bumi Mayapada.
Ketiga orang itu adalah Lesmana Mandrakumara, putra Suyudana raja Astinapura. Kemudian tercatat pula Samba ksatria Parang Garudha anak dari Prabu Kresna raja Dwarawati. Yang ketiga adalah Abimanyu ksatria Plangkawati keturunan Arjuna dari istri Subadra. Ketiganya manekung, mesu-raga, mesu-budi, dalam rangka mendapatkan wahyu yang jadi muatan simbol dan abstraksi dari kehendak kesejahteraan manusia semesta.
Karena wahyu ini merupakan abstraksi yang memuat amanah keagungan semesta, maka secara epika nalar tentu layak menjadi pertimbangan paling utama bagi siapa pun yang menghendakinya. Di sisi lain, kehendak Hyang Pada Wenang akan kelestarian bumi yang harus manifest ke dalam kuasa kebijakan dalam menata dan mengatur (aspek rajawi) bagi Sang penerimanya. Maka Batara Cakraningrat menguji ketiga ksatria pemburu yang menunggu turunnya.
Apakah kesadaran spiritualitas Jawa yang dipertuntunkan dalam tontonan wayang dengan lakon “Wahyu Cakraningrat” seperti ini telah jadi resensi dan referensi pada syukuran pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kebumen?
Saat menjelang fajar subuh, makin sedikit orang menonton pertunjukanNya