Kebumen – Pelataran baledesa Bonorowo pagi hingga siang hari itu
dikepung massa hingga meluber ke jalanan aspal di seberangnya. Dari
jauh terdengar talu lesung yang ditabuh dalam irama tertentu yang
memancar dari toa dan menggema hingga tetangga desa. Kemeriahan pagi itu tambah semarak dengan para pedagang jajanan dan mainan anak yang datang memanfaatkan keramaian.
“Hari ini memang sedang digelar lomba kothek lesung di Bonorowo”, terang pak Saryono, salah satu panitia yang jadi yuri lomba. Lelaki yang juga Ketua BPD Bonorowo ini menilai penampilan kelompok peserta dari pinggir jalan.
Ada 8 kelompok lesungan yang berlomba hari itu, semua berasal dari beberapa pedukuhan di desa Bonorowo sendiri. Panitia mewajibkan peserta yang mengikuti lomba untuk membawakan lagu “Kebumen Beriman” dalam kothekan lesung yang dibawakannya. Lagu lainnya menjadi materi pilihan bebas yang dibawakan.
Tradisi sebagai Metode Melestarikan
Ada yang menarik di balik ide lomba kothekan lesung ini. Yakni sebuah kebijakan kolektif masyarakat sendiri yang secara moral dan kultural “mewajibkan” warga desa untuk nanggap lesungan pada hajatan yang dihelat keluarga. Terutama pada saat warga punya hajatan mantu mbarep atau mantu ragil pasti mementaskan kothekan lesung ini.
Hal ini jadi permufakatan sosial yang disepakati warga desa Bonorowo. Dengan begitu menjadi semacam “kewajiban moral” seluruh warga desa. Implikasinya adalah upaya konkret untuk melestarikan seni tradisi kothekan lesung di desa ini. Sejauh ini, menurut Ketua BPD setempat, kebijakan ini bersifat kultur dan tidak perlu dibuat aturan struktural semisal peraturan desa (perdes). Namun malah secara effektif berjalan dan dilaksanakan seluruh warga desa.
“Hari ini memang sedang digelar lomba kothek lesung di Bonorowo”, terang pak Saryono, salah satu panitia yang jadi yuri lomba. Lelaki yang juga Ketua BPD Bonorowo ini menilai penampilan kelompok peserta dari pinggir jalan.
Ada 8 kelompok lesungan yang berlomba hari itu, semua berasal dari beberapa pedukuhan di desa Bonorowo sendiri. Panitia mewajibkan peserta yang mengikuti lomba untuk membawakan lagu “Kebumen Beriman” dalam kothekan lesung yang dibawakannya. Lagu lainnya menjadi materi pilihan bebas yang dibawakan.
Tradisi sebagai Metode Melestarikan
Ada yang menarik di balik ide lomba kothekan lesung ini. Yakni sebuah kebijakan kolektif masyarakat sendiri yang secara moral dan kultural “mewajibkan” warga desa untuk nanggap lesungan pada hajatan yang dihelat keluarga. Terutama pada saat warga punya hajatan mantu mbarep atau mantu ragil pasti mementaskan kothekan lesung ini.
Hal ini jadi permufakatan sosial yang disepakati warga desa Bonorowo. Dengan begitu menjadi semacam “kewajiban moral” seluruh warga desa. Implikasinya adalah upaya konkret untuk melestarikan seni tradisi kothekan lesung di desa ini. Sejauh ini, menurut Ketua BPD setempat, kebijakan ini bersifat kultur dan tidak perlu dibuat aturan struktural semisal peraturan desa (perdes). Namun malah secara effektif berjalan dan dilaksanakan seluruh warga desa.