Era internet telah menjadi sebuah fenomena
revolusioner pasca industri. Ia telah mampu membangun sebuah
konektivitas yang masif, yang sebelumnya, hampir tidak pernah dapat
dibayangkan. Situasi ini telah disinggung oleh Thomas Friedman (2006)
dalam bukunya yang terkenal, the world is flat.
Kemajuan teknologi internet, yang puncaknya terjadi pada penemuan world wide web (www), telah melahirkan sebuah “dunia baru” yang saling terkoneksi, dan seakan menjadi satu kesatuan. Hal ini berubah menjadi sebuah medium berbagi yang efektif, di mana setiap individu di seluruh dunia, dapat berkomunikasi dan bertukar informasi satu sama lain secara real time dan efisien. Siapapun di dunia ini, secara face to face, tanpa “sekat”, bercanda dan bertegur sapa kapan saja dan di mana saja.
Munculnya belahan sosial baru
Kemunculan internet sebagai sebuah sistem yang masif, telah memberi konsekuensi pada berbagai segi. Yang menarik adalah munculnya masyarakat informasi, yang mewujud sebagai belahan sosial (social cleavage) baru, yang makin memberi pengaruh. Kelompok ini didominasi oleh orang-orang muda yang menguasai informasi dan teknologi informasi, yang mana, mereka tergabung dalam komunitas-komunitas virtual yang terkoneksi. Ini, mungkin saja, yang dimaksud oleh Tim Davies sebagai generation connected dalam studinya yang cukup impresif, tentang Young People and Social Networks.
Pertumbuhan masyarakat informasi itu, cenderung meningkat selama satu dekade terakhir. Kemunculan media sosial—facebook, twitter, youtube, dll—memberi kontribusi yang berarti pada kenaikan tersebut. Pada akhir tahun 2010 saja, diprediksi, ada sekitar 2 miliar orang yang terkoneksi oleh internet, 500 juta orang terdaftar sebagai pengguna facebook, dan yang paling mengejutkan, laju pertumbuhan pendaftar twitter tercatat sekitar 2,1 juta per minggu (Davies, 2010).
Selanjutnya, masyarakat ini menjadi, semacam, susunan individu yang memiliki sifat-sifat: independent, kuat, berpengaruh, dan bekerja dalam prinsip-prinsip yang setara. Mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan makin variatif, yang tergambar dalam variasi isu atau wacana yang—entah disengaja atau tidak—dikonstruksi dalam sistem yang teratur dan visionable. Kondisi ini melahirkan sebuah asumsi menarik, bahwa media sosial yang dijalankan oleh kelompok muda yang memiliki visi yang kuat, telah berubah menjadi perangkat yang efisien, powerful, dan terbuka, yang dapat memfasilitasi pelbagai pandangan dan kepentingan yang sebelumnya cukup tertutup.
Konstelasi Sosial-Politik berubah?
Kemunculan media sosial telah memberikan perubahan yang cukup drastis pada berbagai organisasi tradisional. Banyak organisasi—bisnis, politik, sosial—yang telah mengadaptasi media sosial sebagai bagian dari perangkat strategis internal organisasi (Rasha Proctor, 2011). Media sosial tidak lagi dianggap, sekadar, fenomena interaksi (komunikasi) biasa, namun, ia telah menjadi faktor determinan yang dianggap mampu mengubah lingkungan secara dramatis. Tidak heran—sejak kemunculannya tahun 2006—banyak perusahaan yang telah mengadaptasi twitter sebagai perangkat marketing yang strategis (Rasha Proctor, 2011).
Kekuatan media sosial, tidak terbatas dan berhenti sampai di situ. Pada ranah politik, kekuatan media sosial memainkan peran yang berarti. kemenangan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44, misalnya, menurut Qualman—penulis buku yang terkenal dengan judul Socialnomics: How Social Media Transforms the Way We Live and Do Business—sangat dipengaruhi oleh kekuatan media sosial yang menghasilkan dukungan dari mana saja, dan itu, tidak pernah diprediksi sebelumnya. Lanjut, krisis politik di Timur Tengah, yang menggulingkan pemerintahan Presiden Husni Mubarak, dimulai dari sebuah gerakan yang diorganisasi secara sistematis dengan menggunakan facebook (Rasha Proctor, 2011).
Konteks Indonesia
Di Indonesia, wacana ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Indonesia sebagai bangsa dengan kultur patron-klien yang sangat mengakar (deep down), menyediakan sedikit ruang kesempatan bagi partisipasi baru untuk muncul. Dalam kepemimpinan, misalnya, sangat jarang ditemukan fakta yang menunjukkan bahwa terjadi sirkulasi kepemimpinan yang fresh, progresif, dan baru. Kepemimpinan walikota, bupati, dan gubernur cenderung (tends to be, usually is) berputar-putar pada lingkungan atau lingkaran kekuasaan yang sama. Proses sirkulasi dan dinamika kepemimpinan berlangsung lambat dan kurang “greget”.
Demokrasi dalam sistem otonomi—yang salah satu tujuannya untuk membangkitkan partisipasi baru yang dinamis dan proaktif, termasuk partisipasi aktif dalam kepemimpinan politik—tidak terlalu punya masa depan yang mencerahkan. Mungkinkah kita—benar-benar—hanya menjadi manusia-manusia yang “jago” menggunakan teknologi—terbatas pada—konsumsi, kemudian bosan dan ganti lagi. Kita tidak banyak menyelami, tiap-tiap fenomena perubahan, dan menyiasatinya sebagai sebuah medium yang memberi peluang yang menjanjikan. Mungkinkah kita, sekali lagi, hanya akan melewatkan sebuah momentum kultural tanpa bekas yang “cukup”, kecuali konflik-konflik yang “akan” hilang layaknya kembang-kembang api, seperi kasus Prita versus rumah sakit Omni?
Oleh : Tomy Ishak http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/18/kaum-muda-politik-dan-media-sosial/
Kemajuan teknologi internet, yang puncaknya terjadi pada penemuan world wide web (www), telah melahirkan sebuah “dunia baru” yang saling terkoneksi, dan seakan menjadi satu kesatuan. Hal ini berubah menjadi sebuah medium berbagi yang efektif, di mana setiap individu di seluruh dunia, dapat berkomunikasi dan bertukar informasi satu sama lain secara real time dan efisien. Siapapun di dunia ini, secara face to face, tanpa “sekat”, bercanda dan bertegur sapa kapan saja dan di mana saja.
Munculnya belahan sosial baru
Kemunculan internet sebagai sebuah sistem yang masif, telah memberi konsekuensi pada berbagai segi. Yang menarik adalah munculnya masyarakat informasi, yang mewujud sebagai belahan sosial (social cleavage) baru, yang makin memberi pengaruh. Kelompok ini didominasi oleh orang-orang muda yang menguasai informasi dan teknologi informasi, yang mana, mereka tergabung dalam komunitas-komunitas virtual yang terkoneksi. Ini, mungkin saja, yang dimaksud oleh Tim Davies sebagai generation connected dalam studinya yang cukup impresif, tentang Young People and Social Networks.
Pertumbuhan masyarakat informasi itu, cenderung meningkat selama satu dekade terakhir. Kemunculan media sosial—facebook, twitter, youtube, dll—memberi kontribusi yang berarti pada kenaikan tersebut. Pada akhir tahun 2010 saja, diprediksi, ada sekitar 2 miliar orang yang terkoneksi oleh internet, 500 juta orang terdaftar sebagai pengguna facebook, dan yang paling mengejutkan, laju pertumbuhan pendaftar twitter tercatat sekitar 2,1 juta per minggu (Davies, 2010).
Selanjutnya, masyarakat ini menjadi, semacam, susunan individu yang memiliki sifat-sifat: independent, kuat, berpengaruh, dan bekerja dalam prinsip-prinsip yang setara. Mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan makin variatif, yang tergambar dalam variasi isu atau wacana yang—entah disengaja atau tidak—dikonstruksi dalam sistem yang teratur dan visionable. Kondisi ini melahirkan sebuah asumsi menarik, bahwa media sosial yang dijalankan oleh kelompok muda yang memiliki visi yang kuat, telah berubah menjadi perangkat yang efisien, powerful, dan terbuka, yang dapat memfasilitasi pelbagai pandangan dan kepentingan yang sebelumnya cukup tertutup.
Konstelasi Sosial-Politik berubah?
Kemunculan media sosial telah memberikan perubahan yang cukup drastis pada berbagai organisasi tradisional. Banyak organisasi—bisnis, politik, sosial—yang telah mengadaptasi media sosial sebagai bagian dari perangkat strategis internal organisasi (Rasha Proctor, 2011). Media sosial tidak lagi dianggap, sekadar, fenomena interaksi (komunikasi) biasa, namun, ia telah menjadi faktor determinan yang dianggap mampu mengubah lingkungan secara dramatis. Tidak heran—sejak kemunculannya tahun 2006—banyak perusahaan yang telah mengadaptasi twitter sebagai perangkat marketing yang strategis (Rasha Proctor, 2011).
Kekuatan media sosial, tidak terbatas dan berhenti sampai di situ. Pada ranah politik, kekuatan media sosial memainkan peran yang berarti. kemenangan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44, misalnya, menurut Qualman—penulis buku yang terkenal dengan judul Socialnomics: How Social Media Transforms the Way We Live and Do Business—sangat dipengaruhi oleh kekuatan media sosial yang menghasilkan dukungan dari mana saja, dan itu, tidak pernah diprediksi sebelumnya. Lanjut, krisis politik di Timur Tengah, yang menggulingkan pemerintahan Presiden Husni Mubarak, dimulai dari sebuah gerakan yang diorganisasi secara sistematis dengan menggunakan facebook (Rasha Proctor, 2011).
Konteks Indonesia
Di Indonesia, wacana ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Indonesia sebagai bangsa dengan kultur patron-klien yang sangat mengakar (deep down), menyediakan sedikit ruang kesempatan bagi partisipasi baru untuk muncul. Dalam kepemimpinan, misalnya, sangat jarang ditemukan fakta yang menunjukkan bahwa terjadi sirkulasi kepemimpinan yang fresh, progresif, dan baru. Kepemimpinan walikota, bupati, dan gubernur cenderung (tends to be, usually is) berputar-putar pada lingkungan atau lingkaran kekuasaan yang sama. Proses sirkulasi dan dinamika kepemimpinan berlangsung lambat dan kurang “greget”.
Demokrasi dalam sistem otonomi—yang salah satu tujuannya untuk membangkitkan partisipasi baru yang dinamis dan proaktif, termasuk partisipasi aktif dalam kepemimpinan politik—tidak terlalu punya masa depan yang mencerahkan. Mungkinkah kita—benar-benar—hanya menjadi manusia-manusia yang “jago” menggunakan teknologi—terbatas pada—konsumsi, kemudian bosan dan ganti lagi. Kita tidak banyak menyelami, tiap-tiap fenomena perubahan, dan menyiasatinya sebagai sebuah medium yang memberi peluang yang menjanjikan. Mungkinkah kita, sekali lagi, hanya akan melewatkan sebuah momentum kultural tanpa bekas yang “cukup”, kecuali konflik-konflik yang “akan” hilang layaknya kembang-kembang api, seperi kasus Prita versus rumah sakit Omni?
Oleh : Tomy Ishak http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/18/kaum-muda-politik-dan-media-sosial/