Lebih dari satu dekade reformasi telah digulirkan,
namun hingga saat ini sejumlah masalah masih menimpa bangsa Indonesia.
Di bidang politik, hukum, dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa
rapuh. Di sektor kesejahteraan rakyat, sejumlah luka bangsa masih belum
hilang: angka kemiskinan yang tinggi, biaya kesehatan dan pendidikan
yang mahal, serta anak-anak busung lapar yang belum hilang dari angka
statistik.
Di bidang ekonomi dan industri, kita tidak berdaulat atas
nasib ekonomi kita sendiri. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab
semuanya, salah satunya adalah kegagalan para elit kita memimpin bangsa
ini. Tiadanya pemimpin yang berani mengambil alih masalah orang lain
menjadi tanggung jawab dirinya dan berperan sebagai problem solver bagi
masalah lingkungannya, telah menyeret bangsa ini pada
persoalan-persoalan yang tak berujung. Soekarno sebelumnya dielu-elukan
rakyatnya, akhir masa jabatannya tercatat begitu suram. Ia digoyang dan
dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam kesendirian. Begitu juga Soeharto,
bapak pembangunan ini pun tersungkur di masa akhir jabatannya. Bahkan,
Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyedihkan lagi. Hanya seumur jagung
memerintah. Kursinya dicopot beramai-ramai lewat sebuah mekanisme yang
hampir tidak masuk akal. Karena itu, bangsa Indonesia memerlukan
pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin yang lahir
dari generasi baru, bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan
pola lama. Bukan juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga
kepemimpinan masa lalu, melainkan seorang tokoh yang berani, jujur
dengan cita-cita perjuangan, memiliki komitmen dan keteguhan terhadap
ideologi, serta sabar dalam berjuang. Pemimpin yang mampu memberikan
visi, arah, dan tujuan, membangun kepercayaan, memberikan harapan dan
optimisme, serta memiliki keberanian melihat dirinya sebagai katalis.
Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, toleransi
terhadap risiko, disiplin seorang entrepreneur, dan bukan pemimpin
bertipe makelar yang hanya mencari untung bagi kepentingan pribadinya
sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Pusat Penelitian Politik LIPI
akan menyelenggarakan diskusi publik dengan judul “Menuju Pemilu 2014:
Problematika Pemimpin dan Kepemimpinan Nasional Masa Depan” pada hari
Rabu, 20 Juli 2011 yang bertempat di Ruang Seminar LIPI, Gedung Widya
Graha lt 1. Acara dibuka oleh Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris sekaligus memberikan sambutan.
Pembicara pertama yaitu Eva Kusuma Sundari (Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat RI) membahas tentang Bagaimana Parpol dan Parlemen Membentuk
Pemimpin, yaitu:
- Parpol masih buruk yaitu belum punya sistem dan cara untuk menghasilkan pemimpin yang baik. Tidak punya indikator performa.
- Parpol
belum punya gagasan reform untuk dirinya maupun bangsa, contohnya bisa
dilihat pada ketiadaan pendidikan politik yang baik dalam badan
parpol. Kader belajar sendiri di lapangan, tidak dibekali pendidikan,
pengetahuan, dan skill berpolitik
- Parpol kuat diwarnai hubungan-hubungan personal berbasis kedekatan pertemanan dan kekeluargaan.
- Anggota parpol tidak loyal, loncat dari satu parpol ke parpol lain, bukti tidak ada ideologi dan indikator performa
- Parlemen
dalam proses kerjanya juga tidak punya gagasan reform yang mendasar
dan tidak punya indikator performa antara lain kerapkali bekerja
berdasarkan suka atau tidak suka, dan hubungan kedekatan personal.
- Parlemen
bekerja tidak berdasarkan meritokrasi yaitu memberikan penghargaan
berdasarkan pencapaian merit (proven ability) seseorang yaitu bagaimana
orang yang berkompeten.
- Parlemen cenderung mengarah kepada kleptokrasi, yaitu upaya-upaya memperkaya diri dari uang publik.
Selain itu, Eva juga membahas tentang Bagaimana Peran Perempuan Dalam Politik dan Kesempatan Menjadi Pemimpin yaitu:
- Perempuan di parlemen, masih kecil perannya (dampaknya hampir tdk ada)
- Secara umum kesempatan perempuan Indonesia untuk menjadi pemimpin bangsa masih tertutup
- Perempuan
dimana kalau tidak punya hubungan pertemanan, kekeluargaan, klan maka
kecil kesempatannya untuk berpolitik dan menjadi pemimpin
- Sistem pemilu tidak adil pada perempuan antara lain dari kesempatan awal sampai pada proses menjadi bagian dari sistem politik.
Ada beberapa rekomendasi menurut anggota DPR RI ini, yaitu:
- Sistem
pemilu: no money politics, adil gender, berdasarkan kemampuan, bukan
suara terbanyak tapi nomor urut berdasarkan kemampuan.
- Parpol Reform: Kaderisasi parpol yang sistematis dan terukur.
- (Pendidikan politik yang baik dan adil gender untuk masyarakat luas).
- Mengupayakan
sistem merit yang solid dalam parlemen dan parpol (penghargaan
berdasarkan kompetensi) yaitu performance indikator yang jelas.
Pembicara
selanjutnya yaitu Budiarto Shambazy, ia membahas tentang “Situasi dan
Prospek Politik Dewasa Ini”. Menurutnya politik nasional memasuki masa
krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini. Sejak
Oktober 2010 pemerintah, seperti diungkapkan dengan tepat oleh
WikiLeaks, praktis sudah tidak berjalan lagi alias lumpuh. Penyebab
utama kelumpuhan pemerintah adalah sosok Presiden SBY yang tidak efektif
lagi karena watak kepemimpinan yang lemah. Kevakuman kepemimpinan
nasional tersebut juga gagal diisi oleh Wakil Presiden Boediono.
Keraguan terhadap keabsahan hasil Pemilu-Pilpres 2009 juga tampak jelas
pada proses penyidikan Skandal Century oleh DPR. Keputusan Rapat
Paripurna DPR amat jelas: aparat hukum (dalam hal ini Polri, KPK, dan
Kejaksaan Agung) harus menyidik dan menyelidiki hubungan antara bail out
Rp 6,9 trilyun Bank Century dengan dugaan politik uang yang dilakukan
oleh partai dan capres-cawapres tertentu.
Wartawan senior Kompas
ini menilai kemungkinan yang terjadi pada saat pilpres 2014,
barangkali sangat bisa terjadi adalah proses konstitusional dan
political bargains di kalangan elit yang memerintah, yang berpusat di
masalah keabsahan Pemilu-Pilpres 2009, akhirnya akan berujung pada
penyelenggaraan pemilu-pilpres ulang sebelum 2014. Pemilu-pilpres ulang
bisa diselenggarakan secara murah, cepat, dan jurdil jika melibatkan
bantuan/keterlibatan pihak-pihak asing seperti PBB, Uni Eropa, ASEAN,
dan negara-negara sahabat. Kita menengarai terdapat puluhan juta pemilih
yang dirampas haknya, padahal rakyatlah yang berhak menentukan pilihan
masing-masing—bukan lewat cara-cara persekongkolan elit politik di
dalam kompleks MPR-DPR, kudeta, atau Pemilu-Pilpres 2014 yang tak
mustahil amburadul lagi pelaksanaannya seperti tahun 2009.
Pembicara
ketiga Sofjan Wanandi yaitu salah satu Pengusaha yang mengutarakan
pendapat serta pemikirannya pemimpin dan kepemimpinan dalam berbagai
sektor kehidupan masyarakat. Selain itu, Bpk. Sofjan Wanandi memberikan
pandangannya terhadap kondisi bangsa Indonesia dari sudut pandang
seorang pelaku ekonomi. Para pengusaha perlu mendapat dukungan dari
Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam mengembangkan sektor usahanya agar
dapat menarik investor dari luar maupun dalam negeri. Selama ini,
Pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap pengusaha dalam
menjalankan perekonomian maupun sektor bisnis dalam pemerintahan.
Menurut Sofjan, bila pemerintah bisa bekerjasama dengan pengusaha, maka
baik sektor perekonomian dan bisnis dapat berjalan dengan baik dan
lebih efisien.
Pembicara terakhir yaitu Prof. Dr. Syamsuddin
Haris dengan tema “Krisis Kepemimpinan Politik dan Tantangan 2014”.
Menurutnya bangsa kita saat ini tengah mengalami krisis kepemimpinan
politik, baik tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat nasional,
krisis kepemimpinan politik itu tidak hanya tampak pada kepemimpinan
lembek Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melainkan juga terlihat dari
kinerja kepemimpinan partai-partai politik hasil Pemilu 2009. Sedangkan
di tingkat lokal, krisis kepemimpinan politik tampak dalam kinerja
kepala-kepala daerah yang minim kreatifitas dan terobosan, dan
sebaliknya justru tersandera berbagai kasus hukum akibat korupsi dan
penyalahgunaan dana APBD. Ia membahas tentang enam dimensi krisis
kepemimpinan politik yang bisa diidentifikasi dan tengah melanda bangsa
kita dewasa ini, yaitu Krisis komitmen etis, Krisis keteladanan, Krisis
kecerdasan dan kreatifitas, Krisis kapasitas manajerial, Krisis
tanggung jawab, dan Krisis kewibawaan.
Selanjutnya, peneliti
yang akrab disapa pak Haris ini, membahas bagaimana partai-partai
politik adalah institusi paling bertanggung jawab dalam menghasilkan
para pemimpin politik bangsa kita saat ini. Menurutnya, para politisi
dan pemimpin parpol yang “bermasalah” tidak memiliki hak moral untuk
menjadi calon pemimpin bangsa kita di masa depan. Realitas politik
sejauh ini memperlihatkan, para politisi dan pemimpin parpol yang
“bermasalah” lebih merupakan beban ketimbang solusi bagi bangsa kita.
Terakhir ia membahas bagaimana adanya kerjasama dan konsolidasi sipil
dari berbagai elemen kekuatan masyarakat sipil. Kerjasama dan
konsolidasi itu tidak hanya diperlukan untuk mencari sumber
kepemimpinan politik baru, melainkan juga guna mendorong dan mendesak
parpol-parpol kita yang masih peduli agar benar-benar berpihak pada
nasib rakyat kita dan masa depan bangsa ini.