SuaraMuda-Dalam berbagai tulisan, termasuk yang pernah ditulis Soe Hok Gie di Jaman Peralihan, ada sebuah anekdot menarik tentang orang tua dan orang muda. Intinya, begini. Ada seorang tua yang selalu berulang-ulang menegaskan kepada seorang pemuda bahwa merekalah yang layak memegang kekuasaan karena memiliki pengalaman yang panjang dalam hidupnya. Orang muda dianggap masih belum matang dan minim pengalaman. Padahal, bagi si orang tua, persoalan kepemimpinan adalah persoalan pengalaman bukan sekedar pengetahuan. Kedua orang tersebut lantas berdebat panjang yang sangat alot. Sampai akhirnya si orang tua mengatakan: “Hei, anak muda. Aku pernah muda seperti kamu. Tapi kamu belum pernah menjadi tua seperti aku, kan ?” Si anak mudapun dengan ketus menjawab: “Ya, saya belum pernah tua seperti anda, tapi anda juga tidak pernah menjadi orang muda di jaman saya!”.
Mendefinisikan Kaum Muda. Ilustrasi tersebut menggambarkan tentang bagaimana dua generasi yang berbeda membahas tentang bagaimana masing-masing harus berperan dalam proses sosial-politik. Pertengkaran ini selalu muncul karena satu pihak mengatakan pengalaman yang kuat itu penting, sedang yang satu lagi mengatakan bahwa tantangan jaman sudah berbeda dan tidak bisa dijawab dengan pengalaman yang dimiliki generasi terdahulu.
Saya kira kita semua sepakat bahwa tantangan yang dihadapi setiap kaum muda berbeda-beda dari jaman ke jaman. Dalam pijakan semacam ini maka memang dibutuhkan proses dan mekanisme politik yang lebih inovatif dan responsif terhadap jaman. Dalam konteks inilah memahami problematika kaum muda dalam politik menjadi sangat relevan.
Lalu bagaimanakah seharusnya kaum muda dibaca dalam politik? Pertama-tama kita perlu memetakan beragam pandangan tentang kaum muda. Ada beragam macam cara pandang atas hal ini seperti yang terangkum dalam berbagai literature. Setidaknya terdapat empat dikotomi dalam mendefinisikan kaum muda (Cordeiro, 2006: 12-15)
- Kaum muda sebagai kategori tunggal vs plural
Orang sering mendefinisikan kaum muda dalam kategori tunggal dimana yang disebut kaum muda dianggap memiliki karakter, corak kebudayaan, cara berpikir, bersikap dan berperilaku yang seragam. Padahal kalau dilihat lebih jauh ada pluralisme dalam kategori kaum muda. Misal dilekatkan karakter: urban-rural, kelas ekonomi bawah-menengah-atas, laki laki-perempuan, agama, dll.
- Muda sebagai kategori biologis vs identitas sosial
Dalam konteks target kebijakan kaum muda sering didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang berada dalam usia tertentu. PBB misalnya mendefinisikan kaum muda adalah yang berusia antara 15-24 tahun. Meski begitu berbagai Negara memiliki beragam ukuran untuk mendefinisikan kaum muda dalam kebijakan mereka (Argentina 14-30, Portugal 15-25, Nikaragua 18-30). Definisi ini ditentang oleh banyak kalangan yang menyatakan bahwa muda bukan sekedar persoalan usia akan tetapi state of mind dan state of spirit yang berbeda dari satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain (Cote dan Allahar, 1996).
- Kaum muda sebagai persoalan masyarakat atau kaum muda sebagai solusi?
Dalam cara pandang konservatif, orang-orang muda dianggap sebagai pembangkang, pemberontak, tidak tahu sejarah, dan label-label negatif lain. Dalam cara pandang ini kaum muda harus didisiplinkan dengan segala mekanisme. Perspektif semacam ini ditentang oleh sebagian kalangan karena mengabaikan bahwa kaum muda justru memiliki sumberdaya penting bagi solusi problem masyarakat. Menurut pengikut pendekatan ini, problem yang dialami kaum muda dalam masyarakat adalah konsekuensi logis dari skema pengaturan sosial yang dibangun mereka yang berkuasa (kaum non muda). Selain itu bukankah yang mengalami problem moralitas dan masalah-masalah lainnya juga menjangkiti kaum non muda? Menurut pendekatan ini kaum muda justru dianggap lebih inovatif dan responsif terhadap perkembangan jaman.
- Kaum muda sebagai pemilik ‘hari ini’ atau pemilik ‘masa depan’?
Hal ini telah menjadi debat panjang dalam wacana politik dan pembangunan. Banyak kalangan bahwa kaum muda adalah harapan bangsa dan penentu masa depan bangsa. Ini bisa dibaca begini: “giliran kaum muda nanti saja kalau sudah dewasa atau tua. Hari ini biarkan kami yang memimpin dan mengelola bangsa.” Hal ini juga telah memunculkan kritisisme beberapa kalangan karena kaum muda juga menanggung persoalan yang ada hari ini sehingga mereka juga harus terlibat untuk merubahnya.
Menurut saya, dalam konteks ideologis transformatif, maka kaum muda perlu diletakkan dalam kategori yang plural, sebagai identitas sosial, sebagai sumber solusi bangsa dan sebagai salah satu pemilik ‘hari ini’. Kaum muda sangat beragam dari sisi kelas sosial dan identitas diri. Mereka muda bukan karena usia, tapi lebih mewakili semangat transformatif untuk mengelola hari ini dan masa depan dengan proses-proses yang inovatif dan responsive terhadap perubahan jaman.
Problema Kepemimpinan Politik. Dalam sejarahnya isu tentang peran politik dan kepemimpinan kaum muda selalu muncul dalam perdebatan di masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia. Dalam era modern barangkali salah satu sengketa politik besar yang pernah tercatat dalam sejarah konflik antara generasi tua dan generasi muda adalah perlawanan kaum muda Perancis, Mei tahun 1968 (yang dikenal dengan Paris ’68).
Pada bulan tersebut mahasiswa dari seluruh penjuru Perancis berkumpul di universitas-universitas di Paris dan memobilisasi pemogokan serta protes terhadap pemerintah. Protes ini lahir dari berbagai hal mulai dari problem kesejahteraan sosial yang makin meningkat, ketimpangan sosial yang tinggi serta, tata politik yang makin otoriter dan meminggirkan peran-peran pemuda dalam politik. Para pelajar dan mahasiswa ini memang menuntut adanya reformasi universitas yang jauh lebih baik infrastrukturnya, isi pengajaran serta metode-metode yang disesuaikan dengan metode-metode modern dan kebutuhan bangsa secara luas. Namun kalau dilacak lagi, mereka sedang menuntut para pemimpin politik yang didominasi kelompok non muda pada waktu itu agar mau membaca dan merespon perubahan dan kebutuhan jaman.
Dalam kasus Indonesia di awal-awal kemerdekaan, pertengkaran antar generasi juga muncul sangat kuat terkait dengan bagaimana republik hendak dibawa. Bahkan dalam perjalanannya hampir semua transisi politik di Indonesia hubungan antar generasi cenderung mengalami masalah yang serupa. Generasi muda berperan mendorong perubahan di awal, dan bahkan menjadi motor utama, namun pada gilirannya hasil akhir tetap berada di tangan elit-elit generasi non muda. Ini tergambar jelas misalnya dalam kasus transisi tahun 1966 dan 1998 dimana peran mahasiswa dan pemuda yang begitu kuat di dalam proses pergerakan, namun mereka tidak mendapatkan representasi politik yang memadai, apalagi dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik yang strategis. Mereka hanya menjadi penonton yang kecewa.
Di sebagian kalangan muda resistensi terhadap situasi ini dilakukan lewat apatisme dan sinisme terhadap politik. Politik dan pemerintahan dianggap hanya menjadi arena bermain generasi non muda. Fenomena semacam ini berlanjut terus hingga kini dan bahkan kemudian memunculkan anggapan bahwa kaum muda semakin sinis dan apatis terhadap politik. Atau lebih parahnya lagi muncul anggapan bahwa kaum muda mengalami degradasi moral.
Dalam konteks yang mutakhir, apatisme sebagian kalangan muda ini dijustifikasi oleh beberapa temuan yang menunjukkan dengan tingginya angka golput di kalangan pemilih generasi muda dibandingkan dengan golput di kalangan generasi non muda. Survey yang dilakukan Jurusan Ilmu Pemerintahan terhadap pemilih di Yogyakarta menunjukkan bahwa mereka yang memutuskan tidak memilih di pemilu legislatif lalu sebagian besar adalah kelompok usia 17-35 tahun dengan persentase sebesar 63%.
Apakah gambaran tersebut mencerminkan bahwa kaum muda memang mulai menjarakkan diri dari politik? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Kalau dilihat dari kacamata sistemik memang sangat bisa jadi politik menjadi hal yang dianggap ‘tidak menarik’ buat kaum muda. Ini terjadi karena transfer kepemimpinan ke kaum muda tidak berjalan sesuai yang diinginkan. Idealnya dalam semua organisasi sosial terjadi proses kaderisasi yang kontinyu untuk menghasilkan rotasi kepemimpinan yang matang. Bagi kaum muda, politik dalam arti sistemik juga dilihat tidak lagi menarik karena terjadi pemandegan generasi dalam berbagai organisasi sosial ( mulai dari partai politik, birokrasi, lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dll). Ada keengganan yang kuat dari kelompok non muda untuk mengalihkan posisi mereka dalam organisasi kepada kelompok-kelompok muda. Itu barangkali yang menjelaskan mengapa banyak kaum muda yang memilih untuk tidak memilih dalam pemilu. Menurut mereka, toh yang akan menikmati adalah yang itu itu saja.
Dalam konteks politik nasional, kita bisa menyaksikan juga bagaimana elit-elit nasional yang bertarung adalah orang-orang lama. Rotasi kepemimpinan politik mengalami kemandegan. Partai politik gagal menghadirkan orang-orang baru (orang-orang muda yang inovatif dan kreatif). Beberapa partai memang sudah berupaya untuk melakukan transformasi kepemimpinan ke kaum muda, tapi toh tatkala pragmatisme politik mengedepan proses ini justru diingkari. Orang-orang lama kembali masuk dan memotong proses yang sedang dibangun oleh kader-kader mudanya. Apabila proses semacam ini terus berlangsung kedepan bisa dipastikan bahwa kader-kader partai yang berkualitas tidak akan pernah muncul lagi dalam sistem politik kita. Lebih parah lagi, pemilu dan partai dianggap tidak lagi penting oleh kaum muda.
Di tengah berbagai pesimisme itu ada juga yang menyatakan optimismenya. Mereka mengatakan bahwa antipati dan sinisme kaum muda terhadap politik sebenarnya tidak terjadi (kalaupun terjadi itu terjadi dalam taraf yang minor). Yang sekarang sedang terjadi adalah perubahan arena politik kaum muda. Bagaimana ini dijelaskan?
Transformasi Politik Kaum Muda di Indonesia
Di era sekarang ini, tantangan dan persoalan yang dihadapi kaum muda makin kompleks dan rumit dibanding masa-masa sebelumnya. Arus deras konsumerisme, pragmatisme uang, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (internet, HP, televisi) membuat pola interaksi sosial dan politik kaum muda tidak lagi bisa diatasi dengan cara pandang lama. Meski begitu, ternyata proses semacam ini juga telah memberi peluang-peluang baru bagi kaum muda untuk makin mengembangkan diri mereka. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya, telah memberi wadah baru bagi mereka untuk mendorong tumbuhnya inovasi pengetahuan dan teknologi yang lebih luas.
Dalam situasi ini, arena politik tidak lagi bisa dibaca dalam konteks politik formal semata (partai politik, lembaga-lembaga negara, pemilu, dll) tapi juga merambah ke dalam arena arena yang terkait dengan persoalan sehari hari(everyday life politics). Isu isu yang muncul dalam everyday life politics ini tidak lagi soal sistem tapi soal-soal riil sehari hari. Misalnya, persoalan lingkungan, olah raga, musik, dll. Di arena inilah kaum muda pelan pelan mulai menggeser keterlibatan politik mereka. Banyak di antara mereka yang kemudian memilih untuk masuk ke organisasi lingkungan, perempuan, hobi. Atau menjadi pekerja seni transformatif (lewat film, musik, karikatur, komik, dll). Bagi mereka arena-arena ini jauh lebih menarik ketimbang masuk ke organisasi-organisasi politik formal. Di arena-arena tersebut mereka juga bisa berpolitik dan melakukan perubahan dengan cara mereka sendiri.
Fenomena everyday life politics in dalam taraf tertentu mulai mengaburkan batas antara ‘apa yang politik’ dan ‘apa yang tidak politik’. Di era 1990-an, orang memberi label generasi muda saat itu sebagai ‘generasi MTV’. Kini ia sudah berubah menjadi ‘generasi Facebook’. Sebagian kaum muda bisa menyalurkan hobi dan berinteraksi sosial tapi pada saat yang sama bisa mengkonversi hal tersebut sebagai alat politik baik sosialisasi, mobilisasi dan pengembangan jejaring politik.
Namun kita juga perlu mencermati bahwa apa yang disebut sebagai kaum muda di Indonesia pun sangat beragam. Mereka sangat tersegmentasi dari segi kelas sosial, tingkat modernitas, orientasi kultural, dsb. Artinya, keterlibatan dalameveryday life politics juga beragam dari satu kelompok sosial dengan yang lain.
Berdasar kenyatan inilah saya hendak menegaskan bahwa berkembangnya aktivitas everyday life politics di sebagian kalangan muda tidak bisa menjadi justifikasi bahwa arena politik formal tidak penting dan tidak diperlukan lagi. Ranah politik formal tetap saja diperlukan kaum muda karena di sanalah isu-isu strategis (termasuk yang terkait dengan everyday life activities) bisa dipengaruhi. Keengganan kaum muda untuk terlibat aktif dalam politik formal (entah sebagai perlawanan atau apatisme) justru berpeluang melanggengkan mekanisme politik yang tidak sehat dan melahirkan kader-kader pemimpin baru yang tidak matang menghadapi. Kegagalan merebut representasi politik hari ini jelas akan membawa pada problema politik di masa depan.
Agenda-Agenda Makro. Tulisan saya menunjukkan bahwa kaum muda Indonesia sekarang mengalami transformasi sosial politik yang luar biasa. Interaksi dengan dunia luar, pengetahuan baru dan suasana sosial baru telah menciptakan tantangan politik. Sebagian dari mereka mulai mengalami pergeseran imajinasi tentang politik, serta pergeseran arena (meski magnitude-nya perlu dikaji lagi).
Untuk itulah maka diperlukan agenda-agenda perubahan yang lebih diorientasikan pada pengembangan struktur peluang bagi kaum muda. Negara perlu didorong lewat tekanan politik untuk membangun kebijakan yang memberi ruang pengembangan kapasitas kaum muda dalam berorganisasi dan berpolitik. Kaum muda perlu didengar sehingga mereka tidak hanya menjaditarget kebijakan tapi juga aktor perubahan.
Pada level masyarakat, kaum muda perlu menguatkan arena-arena yang selama ini menjadi ranah mereka. Arena ini semestinya menjadi wahana pematangan diri dalam proses sosial sehingga dibayangkan akan melahirkan kader-kader pemimpin yang tidak hanya muda dari sisi usia tapi juga dari sisi semangat, state of mind dan state of spirit. Inovasi pengetahuan dan kreativitas sosial akan lahir dari proses ini. Dengan cara semacam ini maka bisa diminimalisir munculnya kader-kader muda yang memiliki cara berpikir konservatif.
Sementara itu organisasi-organisasi politik (terutama parpol) juga perlu menjaga proses rotasi kepemimpinan dan kaderisasi politik yang lebih baik. Parpol perlu memberi kesempatan lebih luas bagi kader mudanya untuk terlibat memikirkan dan merumuskan agenda-agenda strategis partai. Hanya dengan cara semacam ini maka kelangsungan partai ke depan akan terjaga.
Dan yang terakhir kelompok-kelompok muda yang berada dalam ranah masyarakat sipil, negara, pasar, keluarga mesti mampu memanfaatkan energi sosial yang dimilikinya untuk melakukan transformasi dari dalam. Paper ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Kepemudaan, Komite Sumpah Pemuda Indonesia, 30 Mei 2009, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta