Minggu, 08 Mei 2011 , 04:53:00 WIB
RMOL.KPK akan memantau pengadan proyek KTP elektronik dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Kementerian Dalam Negeri yang menelan anggaran Rp 6,3 triliun. Kecurigaan tentang proses tender ini dilontarkan LSM Government Watch. Gowa melontarkan dugaan, sejumlah perusahaan yang mengikuti
tender tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2010.Alhasil, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar menyarankan Gowa melapor ke KPK jika menemukan indikasi penyimpangan pelaksanaan tender proyek tersebut. “Kalau memang benar demikian, silakan melapor. Kami terbuka kepada semua pihak yang ingin melapor,” katanya saat dihubungi Rakyat Merdeka.
Menurut Haryono, KPK juga siap memantau jalannya pengadaan KTP elektronik dan NIK agar berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. “Tapi, untuk menemukan unsur korupsinya cukup sulit. Soalnya, ini masih dalam tahap tender,” ucap bekas auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ini.
Dia menambahkan, untuk mengetahui apakah pengadaan tersebut ada praktik korupsi atau tidak, KPK akan bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BPKP atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). “Kami akan minta data ke BPKP atau BPK, bahkan jika perlu ke LKPP,” katanya.
Sejak awal, lanjutnya, KPK sudah mendorong agar proses pengadaan barang dan tender dilakukan secara elektronik. Sebab, berdasarkan hasil kajian KPK, metode itu cukup ampuh untuk mencegah korupsi. “Sedang berjalan, semoga bisa meminimalisir kemungkinan terjadi korupsi,” ucapnya.
Menurutnya, KPK juga sudah menyarankan Kemendagri untuk berkoordinasi dengan BPKP, BPK dan LKPP untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya korupsi seperti penggelembungan harga. “Sudah sejak dini kami meyarankan itu kepada Kemendagri. Jika memang ada korupsi, tentu akan tercatat dalam data BPK dan BPKP.”
Sebelumnya, LSM GOWA mendesak KPK proaktif mengawasi tender proyek KTP elektronik dan NIK yang dilaksanakan Ditjen Administrasi Kependudukan (Adminduk) Kemendagri yang menelan angaran Rp 6,3 triliun. Pasalnya, pelaksanaan tender itu ditengarai terjadi penyimpangan dan menyalahi ketentuan PP Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Menurut aktivis Gowa Andi Syahputra, pengadaan e-KTP sejak awal disinyalir terjadi permainan tingkat tinggi yang melibatkan para elite dan berbau kepentingan pribadi mereka yang terlibat proyek itu. Soalnya, berdasarkan Rencana Kerja Satuan (RKS) awal yang dibagikan, banyak mengarah ke barang-barang dengan merek tertentu. Bahkan, katanya, tender dibuat menjadi lima tahapan tanpa mengajukan harga, dan peserta yang lulus tahap pertama dapat mengikuti tahap berikutnya. Terakhir, peserta yang lulus baru mengajukan penawaran.
Kata Andi, sistem ini diduga untuk menggugurkan peserta yang bukan kelompoknya, memaksimalkan harga penawaran setelah peserta yang lulus tinggal kelompok mereka. Anehnya lagi, lanjut dia, tender proyek Rp 6,3 triliun ini, hanya dilakukan dalam waktu singkat dengan persyaratan yang tidak masuk akal, apabila tidak dipersiapkan jauh hari. “Bahkan, bersifat anomali dalam menentukan spesifikasi barang yang dapat menjatuhkan peserta tender yang tidak tahu,” tuturnya.
Menurut Andi, menentukan pemenang tender besar seharusnya berdasarkan kemampuan secara menyeluruh dan atas sistem yang ditawarkan.
“Seharusnya Kemendagri menunjuk badan independen menjadi penilai atas semua proposal teknis yang masuk, bukan menggunakan tenaga ahli yang tidak pernah menghasilkan sistem kependudukan yang handal,” ujarnya.
Menanggapi kecurigaan tersebut, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi meminta Gowa tidak menduga-duga terjadi penyelewengan. Sebab, katanya, hal itu akan menjadi fitnah. “Tapi kalau ada bukti, silakan melapor. Kemudian, aparat memeriksa dan membuktikan ada korupsi atau tidak. Kalau semua tender disebut dengan kata diduga, tentu tak sehat bagi kehidupan birokrasi kita. Soalnya, tak semua orang berniat buruk.”
Gamawan pun mengingatkan, dirinya sudah meminta KPK untuk melakukan pengawasan agar tak terjadi korupsi dalam proyek ini. “Semua sudah tahu, saya yang meminta langsung kepada KPK untuk mengawasi program tersebut,” katanya melalui pesan singkat kepada Rakyat Merdeka.
Dia berharap, dengan pengawasan KPK, pengadaan KTP elektronik akan berjalan sesuai prosedur dan peraturan yang berlaku. “Bagi mereka yang melempar rumor, saya minta untuk bicara pakai data, fakta dan bukti. Saya senang kalau semua ikut mengawasi agar tak terjadi kerugian negara,” ujarnya.
Mendagri pun mengaku sangat terbuka apabila dalam pengadaan proyek tersebut ditemukan penyelewengan. “Tapi, jangan sekadar melempar rumor, itu sama saja memberikan prasangka yang buruk kepada kami,” ucapnya.
Katanya Sih, Tak Perlu Bayar Sepeser Pun
Kementerian Dalam Negeri berupaya menyelesaikan pembuatan KTP elektronik atau e-KTP dalam dua tahun, dimulai dari tahun 2011. Saat ini, Kemendagri sedang berupaya menyelesaikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tunggal untuk setiap penduduk.
Pada 18 Mei 2010, Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni dalam jumpa pers menyatakan, e-KTP akan diberikan kepada 170 juta jiwa penduduk secara gratis lengkap dengan NIK-nya. “Kalau dengan e-KTP pada tahun 2011 dan 2012 masyarakat masih membayar untuk membuat KTP, berarti penyimpangan,” katanya.
Sementara itu, Dirjen Administrasi Kependudukan (Adminduk) Kemendagri Irman menyatakan, pembuatan e-KTP pada tahun pertama, 2011 akan dilaksanakan di 197 kabupaten/kota. Tahun 2012 dilaksanakan di 300 kabupaten/kota, sehingga semuanya berjumlah 497 kabupaten/kota. “Untuk pemutakhiran data kependudukan dan e-KTP ini, kami akan berbagi tanggung jawab dengan pemerintah daerah,” ujarnya.
Kemendagri menganggarkan Rp 6,3 triliun untuk pemutakhiran data kependudukan hingga tahun 2012. Tahun ini, dana yang dianggarkan untuk pendataan kependudukan Rp 293 miliar. Penerbitan NIK tahun ini dilakukan di 329 kabupaten/kota, sedangkan tahun 2011 di 168 kabupaten/kota.
Dengan demikian, kata Irman, pada akhir 2011, semua NIK bisa diterbitkan sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Yakni, lima tahun setelah undang-undang itu diberlakukan, pemerintah memberikan NIK kepada seluruh penduduk. Menurutnya, dana Rp 6,3 triliun digunakan untuk pemutakhiran data kependudukan sebesar Rp 293 miliar dan penerbitan NIK Rp 300 miliar. Sisanya sekitar Rp 6 triliun untuk penerapan e-KTP.
Mendagri Gamawan Fauzi juga menyatakan, Warga Negara Indonesia tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk mengurus dan mendapatkan e-KTP ini. “Gratis,” katanya pada Senin (24/1/2011).
Untuk memastikan kebijakan ini berjalan, Gamawan mengaku sudah melayangkan surat pemberitahuan kepada seluruh kepala daerah. Dia juga mempersilakan warga yang mengetahui praktik pemungutan biaya dalam pengurusan dan kepemilikan e-KTP ini, melapor ke Kemendagri.
Gamawan pun mendatangi KPK untuk mengawasi proyek e-KTP yang akan dilaksanakan kementeriannya. “Untuk mencegah korupsi dalam pengadaannya, saya minta bantuan KPK,” katanya.
Sangat Rawan Di-Mark Up
Herman Herry, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Herman Herry mendukung KPK memantau tender di lembaga pemerintahan, termasuk proyek KTP elektronik dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Kementerian Dalam Negeri yang menelan anggaran sebesar Rp 6,3 triliun.
“KPK punya fungsi penindakan dan pencegahan. Jika mereka menelusuri perkara ini, maka KPK sudah bekerja sesuai porsinya, yaitu mengoptimalkan fungsi pencegahan,” katanya.
Selain itu, kata Herman, lembaga yang sekarang diketuai Busyro Muqoddas ini, mempunyai kewenangan untuk menganalisa pengadaan tersebut. “Caranya, KPK bekerjasama dengan BPK. Jika KPK melihat ada kemahalan harga, maka itu masuk dugaan mark up. Barulah bidang penindakan KPK mengusutnya.”
Politisi PDIP ini juga berharap LSM GOWA memberikan laporan kepada KPK dengan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Soalnya, keakuratan data akan mempengaruhi citra bagi suatu lembaga. “Ini masalah hukum, jika sembarangan membuat data, maka akan mendapatkan ganjaran hukum pula. Saya harap, LSM sekelas Gowa punya data yang akurat,” ucapnya.
Herman mengapresiasi langkah yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri. Menurutnya, KTP elektronik sangat penting untuk menertibkan data kependudukan. “Saat ini, data kependudukan menjadi masalah besar di Kemendagri. Nah, ketika mendengar Kemendagri akan mengadakan KTP elektronik, saya setuju sekali,” ujarnya.
Meski begitu, Herman berpendapat, nilai tender proyek yang mencapai Rp 6,3 triliun sangat besar dan rawan terjadi penggelembungan harga. Lantaran itu, katanya, KPK memang harus memantau pengadaan tersebut.
“Jika ditemukan ada penggelembungan harga, tutup saja tender pengadaan itu. Ujung-ujungnya rakyat juga yang dibuat susah,” katanya.
Ada Laporan Ke Kejagung
Asfinawati, Pengamat Hukum
Pengadaan KTP elektronik dan Nomor Induk Kepegawaian (NIK) pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hendaknya dicermati secara intensif. Pasalnya, selain anggarannya sangat fantastis, Rp 6,3 triliun, mega proyek ini diharapkan bisa menyudahi persoalan data kependudukan.
Hal tersebut dikemukakan bekas Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesai (YLBHI) Asfinawati. Menurutnya, persoalan data kependudukan yang karut marut, dampak buruknya sangat besar. Untuk itu, penghitungan melalui data elektronik seperti yang dicanangkan Kemendagri diharapkan bisa menyelesaikan persoalan.
Namun, upaya tersebut tidak bisa dilakukan dengan mudah. Proyek yang menyerap anggaran super besar ini, harus benar-benar dipantau dan diawasi secara cermat. “Ada sejumlah data tentang penyelewengan dalam proyek ini yang harus segera diselesaikan secara hukum,” tuturnya.
Ia pun menduga, pelanggaran dalam pelaksanaan proyek KTP elektronik ini terjadi pada level perusahaan yang mengikuti tender. Dia mencontohkan, kabar tentang tidak terpenuhinya persyaratan perusahaan sebagai peserta tender masih berhembus kencang.
“Laporannya sudah ditangani di Kejaksaan Agung. Di sini kan jelas ada permasalahan hukum yang harus dituntaskan,” ucapnya.
Asfinawati berharap, dugaan kerugian negara dalam proyek ini diselesaikan secara cepat oleh semua jajaran penegak hukum. “Panggil dan segera periksa semua perusahaan maupun pihak Kemendagri yang diduga terkait,” sarannya.
Lalu, lanjut dia, setelah belakangan KPK mengawasi kasus ini, maka koordinasi antar lembaga penegak hukum perlu dilakukan secara intensif. [RM]


